Meminta Pertanggungjawaban Presiden
Kolom

Meminta Pertanggungjawaban Presiden

Forum Curah Pendapat (FCP) yang diselenggarakan sejumlah anggota DPR beberapa waktu yang lalu telah menggulirkan isu penting dalam persoalan hukum tata negara Indonesia. Dua solusi yang dihasilkan oleh forum tersebut berujung pada diterbitkannya memorandum DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa (SI) MPR.

Bacaan 2 Menit

Bukan impeachment

Model pertanggungjawaban yang dianut oleh Tap. III/1978 berbeda dengan mekanisme impeachment yang dikenal di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Philipina. Dua negara yang dapat dijadikan contoh karena baru saja  dan akan melaksanakan mekanisme ini di negaranya. Perbedaan mendasar antara mekanisme pertanggungjawaban presiden dalam Tap. III/1978 dengan impeachment kedua negara tersebut adalah dari segi substansinya. Kedua negara tersebut menerapkan sistem presidensil secara konsekuen, sehingga presiden tidak dapat dijatuhkan di tengah masa jabatannya, kecuali ia telah melanggar konstitusi dan hukum positif negara tersebut.

Kasus Presiden Estrada di Phlipina misalnya, yang berkaitan dengan indikasi adanya skandal suap judi illegal Jueteng. Tidak dapat dipungkiri bahwa impeachment terhadap presiden (ataupun pejabat negara lainnya) akan selalu bernuansa politis karena jabatan politis yang dipertaruhkan.

Pada dasarnya mekanisme impeachment merupakan suatu prosedur istimewa yang mengatasi stabilnya posisi presiden dalam sistem presidensial. Pasalnya, kepala pemerintahannya tidak dapat dijatuhkan dengan mosi tidak percaya parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer. Padahal dalam suatu negara hukum, setiap warga negara sama kedudukannya di muka hukum, tanpa adanya pengecualian; termasuk terhadap pejabat negara. Dengan adanya mekanisme ini, pejabat negara tidak menjadi "kebal hukum".

Sementara, secara konstitusional, Indonesia tidak mengenal adanya mekanisme impeachment sebagaimana kedua negara tersebut. UUD 1945 menganut prinsip bahwa presiden melaksanakan amanat rakyat melalui GBHN yang disusun oleh MPR, sehingga pertanggungjawaban presiden dinilai dari bagaimana ia melaksanakan amanat tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa MPR bukanlah seperti parlemen pada umumnya yang menjatuhkan pemimpin eksekutif hanya semata-mata karena hilangnya kepercayaan parlemen, melainkan mendasarkannya pada ada atau tidaknya kebijakan presiden yang bertentangan dengan GBHN atau apakah presiden nyata-nyata melanggar GBHN.

Sejarah pertanggungjawaban presiden di Indonesia

Dalam catatan sejarah ketatanegaraan Indonesia, mekanisme Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban presiden atas dasar memorandum DPR, belum pernah dilaksanakan. Pertanggungjawaban presiden pertama kali terjadi pada tahun 1966. Pada  22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban yang disebut Nawaksara.

Dalam Sidang ini, MPRS sebenarnya tidak meminta pertanggungjawaban presiden Soekarno. Karena itu, Soekarno menyebut pidato pertanggungjawabannya itu sebagai pidato "pertanggungjawaban sukarela". Ia menyebut pidatonya sebagai "program report" , yaitu suatu kelaziman suatu negara bersistem "pemisahan kekuasaan" (Mulyosudarmo, 1997:9). Di masa pemerintahan berikutnya, pertanggungjawaban presiden berulang kali terjadi, tetapi sifatnya lebih mencerminkan sebuah laporan (report)  daripada sebuah pertanggungjawaban.

Tags: