Membentuk Sistem Pemerintahan Kokoh, Bukan Tokoh
Kolom

Membentuk Sistem Pemerintahan Kokoh, Bukan Tokoh

Pembenahan sistem pemerintahan Indonesia sudah tidak dapat ditunda lebih lama lagi. Agenda ini patut ditempatkan sebagai prioritas dalam berbangsa dan bernegara.

Bacaan 6 Menit

Terlintas pemikiran, mengapa pucuk pimpinan eksekutif Orde Lama dan Orde Baru berambisi menjabat begitu lama? Sampai-sampai isi batang tubuh UUD 1945 soal masa jabatan presiden—yang semula diatur seumur hidup—diubah menjadi tidak tak terbatas pada masa Orde Baru. Jangan-jangan keinginan menjabat dalam kurun waktu yang begitu lama tidak semata-mata demi melanggengkan kekuasaannya. Justru, mungkin terdapat agenda membangun sistem pemerintahan yang solid. Indikasi ketidakinginan untuk lama-lama berkuasa ditandai dengan proses suksesi pada kedua rezim ini tidak diwarnai pertumpahan darah. Penguasa yang jatuh tidak melakukan perlawanan apalagi sampai dalam bentuk perlawanan bersenjata. Lebih jauh lagi, selalu disebutkan bahwa Pelita VI merupakan tahap lepas landas. Hal ini dapat dimaknai bahwa tugas pemerintah untuk membangun pondasi sistem pemerintahan melalui programnya telah selesai.

Bandingkan dengan sejarah di Amerika Serikat sebagai representasi negara maju. Bagaimana predikat negara maju itu dapat melekat kepadanya dapat dilihat dari perjalanan sejarahnya. Layaknya bangsa-bangsa yang baru merdeka, umumnya akan melaksanakan pembangunan melalui tiga tahap, yaitu unifikasi, industrialisasi dan welfare state. Masing-masing tahapan dilalui dalam kurun waktu yang begitu lama hingga ratusan tahun. Tidak jarang didahului dengan perang saudara. Lihat bagaimana Jepang di zaman dahulu. Penguasa feodal Oda Nobunaga berupaya untuk menyatukan wilayah Jepang di bawah kekuasaannya. Jepang akhirnya berhasil dipersatukan di era shogun Tokugawa Ieyasu. Langkah unifikasi yang dilakukan oleh Tokugawa antara lain unifikasi sistem peradilan di seluruh wilayah Jepang. Sejarah menunjukkan baik di Amerika Serikat maupun di Jepang menuntut kerja keras dan waktu yang begitu lama untuk membentuk sistem pemerintahan yang kuat. Tidak bisa simsalabim.

Jika sistem pemerintahan adalah sebuah kapal, perlu diketahui untuk tujuan apa kapal dibuat sebelum membangun kapal yang kokoh. Kapal yang dibuat akan menjadi alat untuk mencapai tujuan itu. Lalu, kapal pun tidak dapat berlayar tanpa seorang kapten yang menjadi nakhoda. Inilah letak esensinya yaitu fungsi kapal dan tugas dari seorang kapten. Keduanya adalah hal yang berbeda satu dengan lainnya.

Mari ambil contoh dari proses pemilihan presiden di Amerika Serikat. Presiden terpilih—setelah pengambilan sumpah dan pidato inaugurasinya—akan dituntun ke Gedung Putih. Ketika sampai di ruang kerjanya, dirinya disambut oleh protokol kepresidenan yang kemudian menjelaskan tentang tugas dan kewajiban Presiden—termasuk hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan—sebelum diberikan akses mengetahui rahasia negara. Tampak bahwa di Amerika Serikat sudah terdapat suatu sistem yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara.

Hal berbeda terjadi di Indonesia. Polemik timbul karena setiap terjadi pergantian Presiden akan terjadi pergantian kebijakan yang hampir menyeluruh. Presiden yang diibaratkan sebagai kapten seolah bebas mengganti jenis kapal menjadi kapal perang, kapal tanker, kapal tunda, atau terserah apa pun itu. Pada periode pertama pengangkatan Presiden Jokowi, ia mengatakan bahwa pemerintahan sebelumnya tidak menyisakan anggaran untuk menjalankan roda pemerintahan. Kali ini tampak jelas keberlanjutan Ibu Kota Nusantara dipertaruhkan pada kandidat presiden terpilih dalam pemilu 2024. Seharusnya peristiwa-peristiwa semacam ini tidak perlu terjadi apabila Indonesia telah memiliki sistem pemerintahan yang kuat.

Mari melihat kembali Amerika Serikat. Mantan Presiden Bill Clinton dulu terpilih dengan kondisi kurang dari 51% populasi masyarakat Amerika Serikat menggunakan hak pilih. Bagi masyarakat Amerika Serikat, peristiwa semacam itu tidak aneh. Mereka meyakini yang bekerja adalah sistem meski siapa pun yang memangku jabatan presiden. Sistem yang telah memberikan mereka jaminan hidup dan kesejahteraan. Amat disayangkan hal ini belum tumbuh menjadi sebuah tradisi bernegara di Indonesia.

Pada akhirnya, ada tiga pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pertama, Indonesia perlu membangun sistem pemerintahan yang mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, bukan penguasanya. Hanya saja untuk membentuk pemerintahan yang baik, benar, dan kokoh membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal ini juga dipengaruhi dengan seberapa besar jiwa kenegarawanan pemimpin Republik Indonesia. Kedua, Presiden terpilih telah memiliki kesadaran hukum bahwa presiden adalah jabatan. Jabatan itu ada masanya. Jabatannya tidak berarti memberikan kewenangan penuh untuk mengubah sistem pemerintahan di Indonesia sesukanya. Terakhir, perlu ada upaya penegakan hukum dalam rangka membangun sistem pemerintahan. Perlu keberanian untuk menegakkan hukum ketika lembaga eksekutif melakukan penyalahgunaan kewenangan. Pembenahan sistem pemerintahan Indonesia sudah tidak dapat ditunda lebih lama lagi. Agenda ini patut ditempatkan sebagai prioritas dalam berbangsa dan bernegara.

*) Dr. Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H., Dosen Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait