Memahami Aturan Penilaian Perpajakan Terbaru
Kolom

Memahami Aturan Penilaian Perpajakan Terbaru

Ada empat implikasi akibat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penilaian untuk Tujuan Perpajakan.

Bacaan 4 Menit

Penilaian untuk menentukan nilai harta berwujud meliputi: a.tanah dan/ atau perairan; b.bangunan; c.mesin dan/ atau peralatan termasuk instalasinya; d.alat transportasi, alat berat, atau kendaraan; e.peralatan dan perlengkapan bangunan; f.perabotan, perangkat elektronik, alat kesehatan; g.serta alat laboratorium dan utilitas; h.alat komunikasi dan perangkat telekomunikasi; i.barang seni dan perhiasan; dan j.aset biologis.

Penilaian untuk menentukan nilai harta tidak berwujud meliputi: a.harta tidak berwujud terkait pemasaran; b.harta tidak berwujud terkait pelanggan; c.harta tidak berwujud terkait seni;
d.harta tidak berwujud terkait kontrak perusahaan; e.harta tidak berwujud terkait teknologi; f.harta tidak berwujud terkait proses penelitian dan pengembangan; dan g. muhibah (goodwill).

Penilaian untuk menentukan nilai bisnis dilakukan meliputi: a.entitas bisnis; b.penyertaan dalam perusahaan; c.instrumen keuangan pada perusahaan terbuka atau tertutup; dan d.kewajaran terhadap akun akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan.

Nilai harta berwujud, harta tidak berwujud, dan bisnis yang diperoleh digunakan untuk perhitungan penilaian yang meliputi PPh, PPN, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Penilaian pajak itu akan dilakukan melalui lima tahapan kegiatan. Tahap pertama adalah penyiapan bahan penilaian yang dilanjutkan pengumpulan data objek dan data pendukung. Tahap ketiga adalah analisis data objek dan data pendukung. Selanjutnya adalah penerapan pendekatan penilaian yang sesuai dengan objek penilaian yang diakhiri penyusunan laporan. Jika tidak berhasil menyimpulkan nilai harta berwujud, harta tidak berwujud, atau bisnis, penilaian dihentikan tanpa ada kesimpulan nilai atas objek penilaian.

Implikasi

Setidaknya ada empat implikasi atas terbitnya PMK 79/2023 ini. Pertama, ada peluang sengketa atas penilaian antara hasil Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dengan DJP. Perlu diingat bahwa Pemerintah membolehkan Wajib Pajak menggunakan jasa penilai publik. Ketentuan soal layanan KJPP ini diatur Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.01/2014 jo.Nomor 56/PMK.01/2017 jo.Nomor 228 /PMK.01/2019 tentang Penilai Publik.

Sengketa terjadi karena DJP akan melakukan penilaian sesuai dengan PMK 79/2023, sedangkan Wajib Pajak melakukan penilaian sesuai hasil penilaian KJPP. Wajib Pajak harus lebih cermat memilih KJPP yang kompeten. Hasil penilaian yang dikeluarkan oleh KJPP diharapkan sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) sebagai pedoman dasar. Hal yang terpenting adalah hasilnya bisa berguna jika terjadi sengketa dengan hasil penilaian kantor pajak.

Tags:

Berita Terkait