Melihat Urgensi Terbitnya UU Keadilan Restoratif
Kolom

Melihat Urgensi Terbitnya UU Keadilan Restoratif

Sejatinya sebagai implementasi amanat KUHP Nasional.

Bacaan 9 Menit

Setelah proses perdamaian berjalan, hasilnya dibuat dalam bentuk berita acara yang ditandatangani pelaku, korban, keluarga korban, keluarga pelaku dan penuntut umum. Kemudian, pihak penuntut umum melalui Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati).

Atas permohonan Kajari, pihak Kajati pun menindaklanjuti dengan segera mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum). Setelah surat permohonan meluncur, paling lambat 3 hari kerja sudah harus diekspos oleh Kajati dan Kajari di depan Jampidum beserta jajarannya.

Praktik dalam proses ekspos tersebut, Jampidum dapat menerima sepanjang memenuhi persyaratan restorative justice. Bahkan sebaliknya, menolak permohonan tersebut sepanjang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Tapi bila permohonannya diterima, Kajati diperintahkan untuk menerbitkan SKP2 dengan tembusannya kepada Penyidik. 

Perbedaan dan persamaan

Mekanisme penyelesaian perkara dengan mengedepankan keadilan restoratif di Kepolisian dan Kejaksaan terdapat persamaan. Yakni penyelesaian perkara dilakukan di luar proses peradilan. Begitupula proses keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Seperti melalui proses perdamaian dan ganti rugi yang setimpal dengan kerugiannya. Tapi, tidak semua tindak pidana dapat ditangani melalui pendekatan keadilan restoratif.

Meski begitu, ada pula perbedaan mendasar dalam penerapan keadilan restoratif di tahap penyidikan yang diawali dengan pengajuan surat permohonan yang diajukan oleh pemohon secara tertulis yang dibuat oleh pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga dan korban dan atau pihak lain. Sedangkan penerapan keadilan restoratif di tahap penuntutan, penuntut umum menawarkan perdamaian kepada korban dan tersangka tanpa tekanan, paksaan maupun intimidasi.

Semestinya, penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif menjadi hukum acara atau proses yang wajib dilalui sebelum atau setelah Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) diserahkan ke penuntut umum. Bahkan mungkin, sebelum dilanjutkan ke tahap pemeriksaan lebih intensif sewaktu di penyidikan maupun tahap penuntutan, atau tahap penyerahan tersangka dan barang bukti. Maka, penuntut umum wajib menawarkan kepada pelaku dan korban sebuah perdamaian sebelum perkaranya di limpahkan ke Pengadilan Negeri (PN).

Selain itu, model penerapan restorative justice oleh Kepolisian dan Kejaksaan terlihat masih berdiri sendiri dan tidak terintegrasi. Seperti halnya penyidik pasca menerbitkan SP3 hanya memberikan surat pemberitahuan kepada penuntut umum. Sedangkan model penerapan restorative justice di tahap penuntutan setelah dikeluarkannya SKP2, penyidik hanya diberikan tembusan SKP2.

Tags:

Berita Terkait