Masalah Bahasa dalam SEMA No.3 Tahun 2023
Kolom

Masalah Bahasa dalam SEMA No.3 Tahun 2023

Rumusan SEMA dapat diikuti atau tidak diikuti. Fungsinya sebagai pedoman yang bukan peraturan bersifat memaksa.

Bacaan 4 Menit

Mahkamah Agung sudah pernah mengadili kasus semacam itu. Sebut saja Perkara No.1572 K/Pdt/2015 (PT Bangun Karya vs. Nine AM Ltd), Perkara No.601 K/Pdt/2015 (PT. Bangun Karya vs. Nine AM Ltd), dan Perkara No.3395 K/Pdt/2019 (PT Jasa Angkasa Semesta vs. PT Gatari Air Service). Ketiganya secara konsisten menyatakan yang sama. Perjanjian yang salah satu pihaknya lembaga swasta Indonesia namun perjanjiannya hanya dibuat dalam bahasa asing—tidak disertai Bahasa Indonesia—maka batal demi hukum.

Putusan-putusan tadi bernilai sebagai landmark decision karena yang pertama kali dijatuhkan terkait batalnya perjanjian yang dinilai melanggar UU UU No.24 Tahun 2009. Artinya, dapat digunakan sebagai referensi bagi hakim lain apabila mengadili perkara serupa.

Isi SEMA No. 3 Tahun 2023 pada Sub 1 Perdata Umum—yang dikutip di awal tulisan ini—menurut pendapat saya bertentangan dengan syarat kausa yang halal di Pasal 1320 BW jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2019. Klausa pengecualian dalam rumusan itu juga perlu jadi catatan tersendiri yaitu, “…kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu pihak”.

Menurut pendapat saya, klausa itu sangat berlebihan dan sama sekali tidak mendasar. Syarat kausa yang halal di Pasal 1320 BW jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.24 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2019 sama sekali tidak memberi syarat iktikad tidak baik dari salah satu pihak dalam pembuatan perjanjian hanya dalam bahasa asing.

Kata wajib jelas mengandung makna sebagai keharusan yang tidak dapat disimpangi—dengan dalih dan alasan apa pun—termasuk dengan cara “dipelintir” menambahkan persoalan iktikad tidak baik. Menurut pendapat saya, Mahkamah Agung telah membuat tafsir baru dengan menambahkan hal baru—yang sesungguhnya tidak diperlukan—terhadap norma yang rumusannya sudah sangat jelas, tegas, dan imperatif.

Sesuai dengan teori interpretasi, rumusan ketentuan yang sudah sangat jelas tidak perlu ditafsirkan lain. Apalagi penafsiran itu menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang dengan menambahkan hal baru di luar dari maksud pembentuk undang-undang.

Bukankah telah dikenal dan berlaku prinsip universal Presumptio Iures et de Iure bahwa setiap orang “dianggap tahu” adanya hukum dalam hal ini undang-undang. Jadi, setiap pembuatan perjanjian yang para pihaknya tunduk pada sistem hukum berbeda pun demikian. Masing-masing pihak dianggap tahu—dan memang harus tahu—bagaimana pengaturan hukum negara dari mitra perjanjian, termasuk konsekuensi hukum terhadap perjanjian yang akan dibuat.

Tags:

Berita Terkait