Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat
Kolom

Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat

Sebagai negara hukum peran peradilan itu sangat penting dalam menghadapi kasus mafia tanah ini. Diperlukannya sinergi yang kuat dari Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Kapolri, Kapolda, DPR serta DPRD agar mafia tanah dapat diberantas.

Bacaan 6 Menit

Semua unsur-unsur yang menunjang pemberesan mafia tanah itu harus diawasi dan diperlukan reformasi total. Kalau perlu dengan pemecatan atau penggantian pejabat yang diberi wewenang meregistrasi dan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang diperjualbelikan atau dihibahkan, diwariskan dan bentuk-bentuk lain secara hukum, misalnya ruilslag yang bertahun-tahun tidak beres diselenggarakan dan menjadi problem selama ini.

Semua persoalan ini menumpuk dan menjadi pekerjaan rumah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus berkoordinasi dengan DPR, lembaga-lembaga penegak hukum dan badan peradilan serta unsur-unsur akademi, intelektual dari masyarakat sipil dan aktivis untuk memecahkan problem nasional ini sehingga dapat dirasakan rakyat, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.

Sebagai negara hukum peran peradilan itu sangat penting dalam menghadapi kasus mafia tanah ini. Diperlukannya sinergi yang kuat dari Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Kapolri, Kapolda, DPR serta DPRD agar mafia tanah dapat diberantas. Kita juga dapat melihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 6 yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” dan juga ditegaskan dalam pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 yang isinya mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan menentukan penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong.

Para pelaku mafia tanah ini sudah disumpah menurut jabatannya sebagai pegawai negeri sipil dan melarang perbuatan tersebut tetapi kenapa mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme sehingga berbuat yang membuat penderitaan rakyat dan jangan dilupakan meminta bantuan kepada lembaga peradilan dan Mahkamah Agung RI dalam mengatasi problem nasional ini. Sebetulnya tidak disangka bahwa lembaga peradilan terbawa-bawa oleh praktik “Mafia Tanah” ini, suatu lembaga yang katanya “Wakil Tuhan” dapat terlibat dalam mafia tanah.

Sebetulnya sudah jelas putusan-putusan pengadilan apalagi peraturan atau Surat Edaran Mahkamah Agung RI melarang suatu putusan saling bertentangan atau conflicting antara satu putusan terhadap putusan yang lain. Semoga benteng terakhir keadilan ini dapat membantu mengatasi persoalan-persoalan di Indonesia.

*)Prof. Dr. Frans H. Winarta, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan dan Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional RI (Tahun 2000-2015).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait