Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat
Kolom

Mafia Tanah Problem Nasional dan Dirasakan Penderitaannya oleh Rakyat

Sebagai negara hukum peran peradilan itu sangat penting dalam menghadapi kasus mafia tanah ini. Diperlukannya sinergi yang kuat dari Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, Kapolri, Kapolda, DPR serta DPRD agar mafia tanah dapat diberantas.

Bacaan 6 Menit

Sebetulnya perkara yang sudah mempunyai ketetapan hukum (in kracht van gewijsde) yang artinya adalah harus dieksekusi dan tidak boleh di banding atau kasasi lagi apalagi di PK (Peninjauan Kembali). Semua upaya hukum itu tidak dapat dilakukan lagi karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Peran pengadilan ini perlu perhatian kembali dari Mahkamah Agung RI dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang dijabat oleh Hadi Tjahjanto. Kasus-kasus tersebut perlu menjadi perhatian Kapolri, Kapolda, Jaksa Agung, Jaksa Tinggi, DPR serta DPRD mengingat contoh-contoh perkara tersebut telah membuat heboh disamping pejabat-pejabat BPN yang diketahui ikut bermain dalam mengendalikan dan memprakarsai mafia tanah tersebut.

Para mafia tanah tidak lagi menggunakan modus lama, seperti mengalihkan hak kepemilikan dengan memalsukan sertifikat tanah secara diam-diam melalui proses jual beli. Modus baru yang kini terungkap, mafia tanah memanfaatkan celah saat sertifikat belum dipegang penguasa lahan. Modusnya, para mafia tanah bekerja sama dengan oknum pegawai BPN daerah untuk mencari tanah yang belum diurus sertifikatnya.

Setelah menemukan target, pelaku bekerjasama membuat dokumen bukti kepemilikan tanah palsu sebagai pembanding atas dokumen yang dimiliki korban. Selanjutnya, pegawai BPN dilibatkan dalam pembuatan gambar ukur atau peta bidang palsu, serta dalam penerbitan sertifikat. Ini tidak lagi menjadi isu “business as usual” tetapi sudah begitu mencoloknya keterlibatan para pejabat BPN dan para penegak hukum sehingga perlu perhatian khusus dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Presiden RI secara khusus.

Kalau tidak, maksud untuk mereformasi secara total lembaga BPN ini harus diikuti cara-cara Konkrit untuk mengatasi mafia tanah atau akan mati suri kalau tidak dijadikan proyek nasional untuk mereformasi lembaga BPN ini dan keterlibatan para penjabatnya dan para penegak hukum dan hakim dalam lembaga peradilan. Melucuti dan memecat pejabat BPN yang bekerja tetap atau paruh waktu perlu diadakan sebagai “shock therapy” untuk mengganti pejabat-pejabat yang merusak citra seluruh korps Badan Pertanahan Nasional.

Pada kasus terakhir yang terungkap ke publik, terdapat 30 tersangka yang terlibat. Sebanyak 13 orang di antaranya pegawai BPN di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Cilincing, Jakarta Utara, Babelan, dan Bekasi. Gebrakan ini harus dilakukan juga di semua wilayah di Indonesia sebagai gerakan nasional.

Sangat diperlukan disiplin, profesionalisme dan tekad bulat untuk mengawasi secara konsisten dan kontinu lembaga BPN ini, juga perhatian dari Pemerintahan Joko Widodo secara khusus. Jangan sampai harapan masyarakat akan tekad bulat untuk mereformasi total lembaga BPN ini pupus begitu saja karena problem mafia tanah ini sudah lama tidak tertangani dan seolah-olah dibiarkan begitu saja tanpa penanganan khusus dan serius. Rakyat sudah putus asa mengingat seolah-olah problem mafia tanah ini tidak ada solusinya dan sudah lama dibiarkan pemecahannya yang konkrit dari aparat pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang bertanggung jawab terlibat.

Tags:

Berita Terkait