Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia
Kolom

Lembaga Peradilan Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia

Eksistensi peradilan adat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih sangat mungkin untuk diakui dan diperjuangkan.

Bacaan 4 Menit

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan lembaga pengadilan adat ini malah secara berangsur-angsur dihapuskan dari sistem peradilan resmi di Indonesia. Isi UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil menegaskan bahwa Pengadilan Pribumi—sebutan lain Pengadilan Adat dan Pengadilan Swapraja—secara perlahan dihapuskan total.

Sisa-sisa peradilan adat sebenarnya masih ada sampai sekarang. Beberapa daerah seperti di Dayak (Kalimantan), Papua, dan Sumatera Barat, tetap mengakui keberadaan peradilan adat. Eksistensi peradilan adat di daerah itu malah diperkuat. Soal kepatuhan terhadap putusan pengadilan adat, sepenuhnya memang bergantung pada para pihak yang bersengketa.

Perintah dalam putusan pengadilan adat memang tidak dapat dilaksanakan secara paksa (eksekusi) seperti pada putusan pengadilan negeri. Bahkan, putusan pada pengadilan adat tidak dapat dieksekusi dengan meminta bantuan (fiat) dari pengadilan negeri. Sebabnya karena putusan pengadilan adat dianggap sebagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Amandemen Konstitusi

Sejak era Reformasi digulirkan pada tanggal 20 Mei 1998, terjadi kebangkitan masyarakat Indonesia yang memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka. Salah satu kelompok masyarakat yang aktif adalah Masyarakat Hukum Adat. Usaha Masyarakat Hukum Adat itu berkaitan dengan hak-hak tradisional sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tentang identitas budaya. Peradilan adat adalah hak tradisional Masyarakat Hukum Adat sekaligus identitas budaya masyarakat tradisional. Faktanya sebagian besar Masyarakat Hukum Adat memang masyarakat tradisional.

Upaya membahas peradilan adat mulai dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Seminar Nasional di Surabaya pada 20 Juni 2013. Seminar Nasional itu bertema “Seminar Arah Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Nasional”. Seminar ini sebagai upaya persiapan dalam pembentukan peradilan adat melalui RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) yang diajukan ke DPR.

Amandemen UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (3) berpotensi mengembalikan eksistensi hukum adat termasuk peradilannya. Sistem hukum adat pada dasarnya bagian dari hak-hak tradisional serta identitas budaya masyarakat hukum adat yang patut diakui. Adanya kedua pasal konstitusi tersebut, selain mengembalikan status hukum adat dan peradilannya juga menegaskan eksistensi pluralisme hukum di Indonesia.

Pluralisme hukum ini tentu meliputi isu peradilan termasuk peradilan adat yang sudah ada dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Konstitusi Indonesia secara tertulis mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait