Lembaga Antikorupsi di Era Orde Baru
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

Lembaga Antikorupsi di Era Orde Baru

UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi lahir pada era Orde Baru. Rekomendasi lembaga yang dibentuk bergantung pada political will pemegang kekuasaan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Rekomendasi Komisi Empat untuk pencegahan tak jauh beda dengan apa yang sampai kini terus digalakkan. Misalnya, penyempurnaan struktur dan prosedur administrasi negara, atau yang kini dikenal reformasi birokrasi; penyempurnaan dan pengawasan atas pengadaan barang/jasa; larangan menerima retur komisi; inventarisasi kekayaan negara yang kini disebut penataan asset; dan memperkuat pengawasan.

 

Disertasi Vishnu Jowono yang kemudian dibukukan, menguraikan kemungkinan penyebab Komisi Empat dibubarkan. Rekomendasi Komisi sudah lebih dahulu dibocorkan media, sehingga dianggap mempermalukan Presiden Soeharto. Padahal, laporan Komisi Empat dianggap sebagai laporan berkualitas tinggi terkait tata kelola pemerintahan dan pemberantasan korupsi. Presiden diduga enggan mendukung rekomendasi Komisi Empat.

 

Baca:

 

Meskipun demikian, pengesahan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi patut dicatat sebagai salah satu keberhasilan era Orde Baru. Berisi 37 pasal, Undang-Undang ini disahkan dan diundangkan pada 29 Maret 1971. Undang-Undang baru ini juga mencabut UU No. 24 Prp Tahun 1960. Jika sebelumnya korupsi lebih dikaitkan dengan pelanggaran lain, dalam UU No. 3 Tahun 1971 korupsi tegas dikualifikasi sebagai kejahatan. Penjelasan Pasal 1 menyebutkan tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas manifestasi dari perbuatan korupsi. Dalam arti luas, aktivitas itu mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pagawai negeri atau kedudukan istimewa seseorang dalam jabatan umum yang tidak patut atau menguntungkan diri atau orang yang menyuap.

 

Upaya pemberantasan korupsi melalui Pekuneg dan TPK bersifat selektif, hanya menyasar kasus korupsi yang terjadi pada era Orde Lama. Itu tampak ketika mahasiswa dan akademisi dari Universitas Indonesia membentuk Komite Anti-Korupsi. Mereka menjadi bagian dan kelanjutan dari Gugus Tugas UI yang melakukan studi pada 1968 untuk menyederhanakan birokrasi demi mengurangi korupsi. Civitas akademika menjadi makin kritis terhadap Presiden Soeharto. Pertemuan mahasiswa dengan Soeharto tak banyak membuahkan hasil. Keinginan mahasiswa agar pemerintah membersihkan diri dan lingkungannya ter terwujud, sehingga menjelang Pemilu 1971 muncul gerakan Golongan Putih (Golput). Mahasiswa juga meneriakkan dugaan korupsi dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Gerakan mahasiswa diberangus lewat Opstib.

 

Andi Hamzah, seorang ahli hukum pidana, mencatat dalam bukunya, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya (1986), sebenarnya ada beberapa perkara korupsi yang ditangani selama periode 1971-1981. Antara lain perkara Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Letjen Siswadji, Budiadji, Liem Keng Eng, dan Endang Widjaja. Adapula kasus korupsi hakim JZL di Pengadilan Negeri Surabaya, dan hakim HG di PN Jakarta Pusat.

 

Tuntutan pemberantasan korupsi terus bergema. Pada 1982, Presiden Soeharto kembali menghidupkan Tim Pemberantasan Korupsi. Nama tim sama dengan yang dibentuk pada awal-awal kekuasaannya. Tim ini beranggotakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara JB Sumarlin, Pangkopkamtib Soedomo, Ketua Mahkamah Agung Mudjono (1981-1984), Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa Agung Ismail Saleh (1981-1984), dan Kapolri Awaluddin Djamin. Namun kiprah TPK jilid dua ini tak jelas, sama tidak jelasnya dengan dasar hukum pembentukannya.

 

Beberapa upaya pemberantasan korupsi dilakukan melalui Opstib. Tetapi karena inner circle tak pernah dibersihkan, korupsi terus menggerogoti kekuasaan. Pada 1998, gerakan massif mahasiswa tak lagi bisa dibendung. Soeharto menyatakan mundur setelah 32 tahun berkuasa. Peralihan inilah yang kemudian melahirkan era reformasi. Tuntutan mahasiswa bukan hanya meminta Soeharto turun dari jabatannya, tetapi juga meminta ada proses peradilan terhadap presiden kedua itu beserta keluarganya sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR).

 

Baharuddin Lopa, kelak menjadi Jaksa Agung, pernah menulis sebuah artikel di harian Kompas edisi 21 Juli 1997. “Saya perlu tekankan ini, sebab betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korup tetap ada di hati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan tetap terjadi”.

Tags:

Berita Terkait