Lembaga Antikorupsi di Era Orde Baru
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

Lembaga Antikorupsi di Era Orde Baru

UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi lahir pada era Orde Baru. Rekomendasi lembaga yang dibentuk bergantung pada political will pemegang kekuasaan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Namun kerja Tim yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto (1966-1973) ini juga relatif tak bertaji ketika berhadapan dengan penyelenggara negara tingkat atas. Selain karena sibuk mengurus tugas lain Kejaksaan, Jaksa Agung adalah bawahan presiden. Dukungan politik untuk memeriksa korupsi pejabat negara lebih tinggi sulit diperoleh Tim. Apalagi jika sudah menyangkut petinggi militer yang menduduki jabatan di perusahaan-perusahaan pelat merah seperti di Pertamina.

 

Akhirnya, Presiden Soeharto membentuk Komisi Empat pada penghujung Januari 1970. Namun patut dicatat bahwa meskipun ada tim dan Komisi, Soeharto pada dasarnya tetap membiarkan adanya Operasi Penertiban (Opstib), bahkan mampu menunjukkan taringnya pada 1977 ketika Presiden Soeharto menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 1977 tentang Operasi Tertib. Isi Inpres ini mengafirmasi keinginan untuk memberantas korupsi, setidaknya demikian yang bisa ditangkap dari semangat Inpres. Buku ‘Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman (2010), yang diterbitkan Masyarakat Transparansi Indonesia, menyebutkan Opstib yang diaktifkan kembali oleh Soeharto melalui Keppres No. 228 Tahun 1967 akhirnya menjadi lembaga yang sangat berkuas.

 

Sementara, Komisi Empat dibentuk melalui Keppres No. 12 Tahun 1970. Wilopo (1908-1981) menjadi Ketua Komisi, dibantu IJ Kasimo (1900-1986), Prof. Johannes, Anwar Tjokroaminoto. Sesuai Keppres No. 13 Tahun 1970, mantan Wakil Presiden M. Hatta menjadi penasehat. Tugas Hatta adalah memberikan pertimbangan kepada presiden hal-hal yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi; dan memberikan saran-saran kepada Komisi Empat untuk kelancaran tugas.

 

Sesuai dasar pembentukannya, Komisi Empat diberikan dua tugas utama. Pertama, mengadakan penelitian dan penilaian atas kebijakan dan hasil-hasil yang telah dicapai  dalam pemberantasan korupsi. Kedua, memberikan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan yang masih diperlukan dalam pemberantasan korupsi.

 

Komisi ini memang memberikan saran kepada Presiden, tetapi tidak punya kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi. Bahkan usulan Komisi Empat kepada Presiden juga tak ditindaklanjuti. Yang terjadi kemudian adalah pembubaran Komisi Empat pada Juli 1970, melalui Keppres No. 50 Tahun 1970. Ini berarti Komisi Empat hanya berumur sekitar tujuh bulan.

 

Apa sebenarnya rekomendasi Komisi Empat? Apakah menyerempet penguasa tinggi sehingga Komisi ini dibubarkan? Rekomendasinya dapat dilihat pada Pidato Kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 1970. Perihal sebab-sebab korupsi, Komisi Empat menyampaikan beberapa hal. Korupsi mungkin terjadi karena gaji yang rendah sehingga tidak mencukupi; ada penyalahgunaan kesempatan dan menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan memperkaya diri; dan meningkatnya kegiatan ekonomi pembangunan sehingga banyak proyek yang dapat dikorupsi.

 

Dalam bidang penindakan, Komisi Empat menyarankan setidaknya tiga hal: penuntut umum diminta sigap memberantas korupsi; penyempurnaan Tim Pemberantasan Korupsi; dan memprioritaskan penanganan beberapa kasus korupsi seperti perkara CV Waringin, PT Mantrust, korupsi di Telkom, Kementerian Agama, dan perkara korupsi Coopa, sebuah perusahaan pemasok pupuk untuk program Bimas Gotong Royong. Secara khusus, Komisi Empat juga meminta pemerintah menaruh perhatian pada kasus Pertamina, ketidakberesan administrasi yang menyebabkan kerugtian negara di Bulog dan masalah perkayuan.

Tags:

Berita Terkait