Menyoal Perma 4/2019 Sebagai Dasar Menolak Legal Standing Permohonan Pailit
Kolom

Menyoal Perma 4/2019 Sebagai Dasar Menolak Legal Standing Permohonan Pailit

Ke depannya UU Kepailitan perlu diamandemen atau direvisi antara lain dengan membatasi minimum nilai utang sebagai legal standing dalam mengajukan permohonan pailit dan PKPU.

Bacaan 7 Menit
Anthony LP Hutapea. Foto: Istimewa
Anthony LP Hutapea. Foto: Istimewa

Beberapa waktu lalu ramai didiskusikan mengenai usulan dari beberapa perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia kepada Pemerintah agar melakukan moratorium Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Usulan ini muncul mengingat pandemi Covid-19 menyebabkan banyak perusahaan kesulitan keuangan dan tidak dapat membayar utang, namun dituntut Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang berujung pailit oleh kreditornya karena mudahnya syarat mengajukan pailit dan PKPU berdasarkan UU Kepailitan.

Terhadap usulan tersebut muncul tanggapan dari praktisi hukum maupun akademisi yang menolak moratorium namun menyetujui dilakukan revisi UU Kepailitan, antara lain mengenai syarat minimum besarnya jumlah utang yang dapat ditagih. Usulan dan penolakan tersebut menimbulkan perdebatan yang intens sehingga menjadi perhatian bagi Hakim Pengadilan Niaga dalam menangani perkara permohonan pailit dan PKPU yang diajukan kreditor pada debitornya. Terlebih bila debitor tidak dapat membayar utang karena usahanya terpengaruh Covid-19 maupun jika jumlah utang debitor dinilai tidak terlalu besar.

Salah satu contoh misalnya sebuah kantor hukum M menjadi pemohon pailit 1 dan seseorang berinisial MS menjadi pemohon pailit 2 selaku kreditor pada tanggal 27 Agustus 2021 lalu. Keduanya mengajukan permohonan pailit terhadap PT DGL, suatu perseroan yang berkedudukan di Cikarang Utara yang bergerak dalam perindustrian logam, selaku debitor di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan terdaftar dengan Nomor 37/Pdt.Sus-Pailit/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Terhadap permohonan pailit tersebut, debitor melalui kuasa hukumnya memberikan jawaban dan mengakui mempunyai utang yang jatuh tempo kepada kedua kreditor berdasarkan perjanjian pelayanan jasa hukum dan perjanjian utang piutang, juga tidak lagi dapat membayar gaji pekerja.

Lebih lanjut debitor menjelaskan kondisinya mengalami kesulitan keuangan dan semakin diperparah dengan pandemi Covid-19 sehingga sejak akhir Januari 2021 sampai perkara berlangsung, belum beroperasi kembali. Namun debitor berkeyakinan akan dapat kembali menjalankan bisnisnya termasuk membayar utang-utangnya kepada kreditor, dan karenanya jika debitor dinyatakan pailit, debitor akan mengajukan rencana perdamaian berdasarkan Pasal 144 Jo. Pasal 178 UU Kepailitan. Pasal 144 UU Kepailitan menyebutkan: “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor”.

Meskipun debitor mengakui seluruh utang dan tidak membantah bukti-bukti yang diajukan kreditor, pengadilan justru menolak permohonan pailit yang diajukan kreditor. Majelis Hakim melalui dissenting opinion dalam Putusan Nomor 37/Pdt.Sus-Pailit/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst., pada tanggal 5 Oktober 2021 (Putusan No. 37), menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan pemohon meskipun berpendapat bahwa persyaratan adanya fakta dan keadaan yang terbukti secara sederhana yaitu adanya dua kreditor atau lebih, adanya utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan telah terpenuhi.

Alasan penolakan karena nilai tagihan pemohon pailit 1 sebesar Rp300 juta dan nilai tagihan pemohon pailit 2 sebesar Rp105 juta masih di bawah nilai Rp500 juta. Sehingga meskipun UU Kepailitan tidak mengatur syarat jumlah minimum pengajuan tagihan, namun karena Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (Perma No. 4 Tahun 2019) dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500 juta, maka seharusnya pemohon pailit menempuh prosedur gugatan sederhana berdasarkan Perma No. 4 Tahun 2019 yang tata cara pembuktiannya sederhana dan diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan waktu penyelesaian gugatan paling lama 25 hari.

Adapun pertimbangan hakim, penulis kutip antara lain sebagai berikut:

Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur mengenai syarat jumlah minimum pengajuan tagihan, namun Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 500.000.000. (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan waktu penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari.

Menimbang, bahwa jumlah tagihan Para pemohon dengan nilai tagihan dibawah Rp. 500.000.000. (lima ratus juta Rupiah) tersebut Majelis Hakim memandang bahwa nilai tagihan tersebut tidak sebanding dengan dampak diputuskannya debitor dalam keadaan pailit, yang dapat mematikan bisnis debitor, mengingat masih ada prosedur gugatan sederhana yang juga sama-sama menerapkan pembuktian sederhana dan waktu yang singkat yang dapat ditempuh oleh Para Pemohon.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas oleh karena nilai piutang/tagihan dibawah Rp. 500.000.000. (lima ratus juta rupiah) dan terdapat Perma No. 4 Tahun 2019, maka dengan berpedoman pada pasal 8 ayat (6) UUKPKPU, meskipun dalam perkara permohonan aquo terbukti sederhana, namun Majelis Hakim memutuskan untuk menolak permohonan pailit para pemohon.

Penulis merasa perlu mengkritisi Putusan No. 37 dan penerapan Peraturan Mahkamah Agung oleh Majelis Hakim Niaga sebagai dasar menolak permohonan kepailitan karena nilai utang yang kecil dan kaitannya apakah UU Kepailitan perlu membatasi minimum nilai utang.

Perma 4/2019 Bukan Pelengkap UU Kepailitan

MA dalam menjalankan kewenangannya mempunyai fungsi antara lain mengatur guna memperlancar penyelenggaraan peradilan yang kerap kali terhambat karena belum lengkapnya atau belum adanya pengaturan hukum acara yang terdapat dalam UU. Oleh karenanya MA banyak menerbitkan Perma yang bersifat pelengkap (complimentary) dalam arti merupakan penyempurnaan atau pelengkap terhadap perundang-undangan yang sudah ada.

Hal ini sesuai Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, yang menyebutkan: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.

Jika di luar negeri dikenal pengadilan yang menangani perkara-perkara perdata sederhana dengan nilai gugatan kecil (small claim court) maka ketentuan hukum acara perdata yang berlaku yaitu Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) dan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) tidak mengatur pemeriksaan perkara dengan membedakan nilai objek dan gugatan, serta sederhana tidaknya pembuktian.

Akibatnya penyelesaian perkara sederhana yang nilai objek gugatannya kecil tetap memerlukan waktu yang lama (karena ada mekanisme upaya banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi serta peninjauan kembali ke MA, yang dapat memakan waktu sampai lebih dari 5 tahun untuk dapat dieksekusi), menyebabkan pencari keadilan frustasi. MA juga kewalahan menangani besarnya tunggakan perkara karena harus tersita waktu, tenaga dan pikirannya memeriksa serta memutus perkara yang sebenarnya sederhana.

Atas dasar itu, MA menerbitkan Perma No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yang memberikan batasan nilai gugatan materiil sebesar maksimum Rp200 juta dan kemudian direvisi dengan Perma 4/2019 yang memberikan batasan nilai gugatan materiil menjadi sebesar Rp500 juta dan tidak mengenal upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali, guna mengisi kekosongan hukum dan sebagai pelengkap hukum acara perdata yang hingga saat ini belum terkodifikasi dalam bentuk UU.

UU Kepailitan berisikan hukum formil yang didasarkan pada hukum acara perdata dan hukum materiil yang telah lengkap, jelas dan tegas serta tidak ada kekosongan hukum yang perlu dilengkapi oleh Perma guna memperlancar jalannya persidangan. Apabila permohonan pailit yang diajukan telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka hakim dilarang memberikan batasan jumlah nilai utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, sebab UU Kepailitan tidak memberikan batasan jumlah nilai nominal utang.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Perma No. 4 Tahun 2019 bertujuan agar sengketa perdata yang umumnya masalah utang piutang diselesaikan secara cepat dalam waktu 25 hari kerja sejak hari sidang pertama dan diharapkan mudah dieksekusi. Bahkan dimungkinkan bagi hakim untuk memerintahkan peletakan sita jaminan atas benda milik tergugat dan/atau milik penggugat yang ada dalam penguasaan tergugat. Dalam konteks ini, debitor diharapkan masih dapat melunasi utangnya dari kegiatan usahanya.

Tujuan kepailitan berdasarkan UU Kepailitan adalah pembagian kekayaan debitor oleh kurator kepada semua kreditor dengan memperhatikan hak mereka masing-masing (Fred B.G. Tumbuan, 2017). Sementara Susanti Adi Nugroho (2018) menyebutkan: “…apabila debitor tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat melunasi utangnya dari kegiatan usahanya (yaitu first way out dari pelunasan kredit itu), maka sumber pelunasan alternatif bagi para kreditor adalah harta kekayaan debitor (second way out dari pelunasan kredit itu) dengan cara melikuidasi harta kekayaan itu…”. Ahli hukum kepailitan yang lain, M. Hadi Shubhan (2008) menyebutkan: “…kepailitan adalahpranata likuidasi yang cepat terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya.

Putusan No. 37 mengabaikan fakta bahwa baik kreditor dan debitor sesungguhnya menyetujui penyelesaian kepailitan ditempuh guna melunasi kewajiban debitor terhadap para kreditornya, dengan mekanisme perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 144 – Pasal 177 UU Kepailitan. Perdamaian dalam kepailitan dapat berisi beberapa kemungkinan, seperti debitor pailit dengan bantuan dari pemegang saham menawarkan kepada para kreditornya untuk membayar sesuatu persentase dan bila tidak cukup dianggap lunas.

Kemungkinan lain, debitor pailit menyerahkan asetnya pada kurator untuk dijual dan dibagi berdasarkan persentase kepada kreditornya dan bila tidak cukup diberikan pembebasan. Tentunya, apabila perdamaian yang ditawarkan debitor pailit ditolak para kreditornya, maka demi hukum debitor pailit dalam keadaan insolven (Pasal 178 ayat (1) UU Kepailitan).

Amandemen UU Kepailitan

Penulis berpendapat, tidak dapat dihindari apabila UU Kepailitan dalam praktiknya disalahgunakan oleh kreditor dalam memaksa debitor membayar utangnya. Padahal masih ada pranata hukum lain yang memungkinkan seperti gugatan sederhana. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena UU Kepailitan tidak membatasi jumlah minimum utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan.

Bandingkan permohonan PKPU yang diajukan terhadap perusahaan besar yang menjual perlengkapan rumah tangga PT Ace Hardware Indonesia Tbk atas utang senilai Rp10 juta, dalam perkara Nomor 329/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst dan Nomor 251/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Penulis setuju, ke depannya UU Kepailitan perlu diamandemen atau direvisi antara lain dengan membatasi minimum nilai utang sebagai legal standing dalam mengajukan permohonan pailit dan PKPU. Dalam konteks ini Putusan No. 37 dapat dipahami tetapi tidak dilandasi dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan fakta hukum dan bukti yang ada. Adanya pembatasan minimum utang sesunguhnya merupakan “bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas dari kesewenang-wenangan kreditor minoritas” (M. Hadi Shubhan, 2008).

*)Anthony LP Hutapea, Advokat dan Kurator di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait