Korban Tayangan Mistik Berhak Mengajukan Gugatan terhadap Televisi
Berita

Korban Tayangan Mistik Berhak Mengajukan Gugatan terhadap Televisi

Tayangan mistik di televisi diduga menjadi pemicu gangguan jiwa. Sejauh mana stasiun televisi bertanggung jawab atas materi yang ditayangkannya?

Nay
Bacaan 2 Menit
Korban Tayangan Mistik Berhak Mengajukan Gugatan terhadap Televisi
Hukumonline

 

Diatur pula bahwa dalam program faktual tidak boleh ada upaya manipulasi dengan menggunakan efek gambar atau suara untuk tujuan mendramatisasi isi siaran sehingga bisa menimbulkan interprestasi yang salah misalnya manipulasi audio visual tambahan seakan ada makhluk halus yang tertangkap kamera.

 

Namun, pengaturan jam tayang ini ternyata masih banyak dilanggar oleh stasiun televisi. Berdasarkan pengaduan yang masuk ke KPI, tercatat ada sekitar 20 pengaduan soal tayangan mistik (www.kpi.go.id). Hampir semua berupa pengaduan tentang pelanggaran jam tayang.

 

Judicial review

Tak diacuhkannya pedoman penyiaran KPI ini bisa jadi disebabkan karena Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) sendiri saat ini masih mengajukan permohonan judicial review terhadap SK tersebut ke Mahkamah Agung. Dalam permohonannya, ATVSI menilai SK yang diterbitkan oleh KPI tersebut melanggar tiga undang-undang, yaitu UU tentang Penyiaran, UU tentang Pers,dan UU tentang Perfilman.

 

Namun, Ketua KPI, Victor Menayang, menegaskan bahwa sepanjang belum ada putusan MA terhadap permohonan tersebut, pedoman penyiaran yang dikeluarkan KPI masih harus dipatuhi. Menurut Victor, berbagai pelanggaran jam tayang tersebut telah disampaikan oleh KPI, dan stasiun televisi sudah merespon dengan mengeluarkan daftar perubahan program yang disesuaikan dengan standar program penyiaran  KPI. Meski demikian, pelanggaran masih kerap terjadi.

 

Mengenai adanya sinyalemen tayangan mistik sebagai pemicu gangguan kejiwaan, Victor menyatakan belum mengetahui hal tersebut. "Tapi ini suatu hal yang harus kita perhatikan  sekali, seorang dokter  jiwa mengatakan tayangan televisi menyebabkan peningkatan penyakit jiwa di Yogya, penting di ditindaklanjuti, apalagi dari RS prestisius seperti Sardjito," tandas Victor (8/3).

 

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa sinyalemen itu harus dikaji lagi, dan KPI akan membawa hal itu kepada industri televisi untuk didiskusikan.

 

Victor menilai ada kemiripan antara apa yang disampaikan Prof.Soewadi dengan tayangan soal tsunami di televisi beberapa waktu lalu. Saat itu, ada pernyataan beberapa psikolog yang menyatakan bahwa tayangan televisi saat itu justru menambah trauma pada korban.

 

Class action

Ditekankan Victor, meski hanya mengatur jam tayang acara mistik, pedoman penyiaran KPI bersifat dinamis. Sehingga, bila ada temuan-temuan baru yang meyakinkan mengenai dampak siaran, maka pedoman penyiaran harus bisa mengadopsinya. Jadi, lanjutnya, bukan berarti jika stasiun televisi sudah mematuhi pedoman penyiaran KPI, maka tidak ada lagi tanggungjawab terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tayangannya. Apalagi saat ini, seperti disebutkan diatas, pedoman penyiaran soal jam tayangpun masih banyak dilanggar.

 

Soal peluang pihak yang merasa menjadi korban tayangan televisi mengajukan gugatan, Victor menyatakan hal itu sangat mungkin dilakukan. Mereka bisa mengajukan gugatan class action.

 

"Ujian-ujian publik yang seperti itu mesti dilakukan oleh publik untuk mencari basis-basis hukum untuk mendapatkan sekumpulan tayangan yang memang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan publik," tegasnya.

 

Sementara itu, Ketua Harian ATVSI, Uni Z Lubis ketika dihubungi hukumonline (9/3) mengatakan belum mengetahui sinyalemen Soewadi. Ia meminta waktu untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Namun, ketika dihubungi lagi, telepon genggamnya tidak diangkat.

  

Sekedar mengingatkan, belum lama ini, stasiun TV NBC di Amerika Serikat digugat oleh seorang pemirsanya Austen Aitken, karena salah satu episode dalam acara reality show "Fear Factor". Dalam episode tersebut, para kontestan diminta memakan tikus yang telah dicampur dalam blender. Aitken mengaku ketika menonton tayangan itu ia muntah, pusing dan tekanan darahnya langsung naik. Akibat lainnya, ia terantuk pintu dan menderita luka-luka. 

Efek dari menonton tayangan mistik di televisi ternyata lebih seram dari isi tayangan itu sendiri. Dalam sebuah artikel Majalah Tempo edisi 7-13 Maret 2005, dikemukakan meningkatnya penderita gangguan jiwa di Yogyakarta disinyalir akibat tayangan mistik di televisi. Sinyalemen tersebut dikemukakan oleh Prof Dr Soewadi MPH SpKj, Kepala Staf Medik Fungsional Jiwa di RS Sardjito, Yogyakarta. Soewadi mendapati banyak pasiennya yang mengalami gangguan kejiwaan akibat terlalu banyak menonton tayangan mistik di televisi. 

 

Bicara soal penayangan acara berbau mistik di televisi sebenarnya telah diatur dalam SK Komisi Penyiaran Indonesia  tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (Pedoman Penyiaran). Pasal 57 dan 58 pedoman tersebut secara khusus mengatur soal tayangan supranatural dalam program faktual maupun program non-faktual, seperti drama, sinetron atau film.

 

Disitu disebutkan bahwa program faktual yang bertemakan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistis, kontak dengan roh, hanya dapat disiarkan pukul 22.00-03.00. Pembatasan jam tayang ini juga berlaku bagi program non faktual. Kecuali yang disajikan dalam bentuk teks berjalan, promo acara tersebut juga hanya boleh disiarkan pukul 22.00-03.00.

Halaman Selanjutnya:
Tags: