Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI: Jika dr Bimanesh Salah, Kami Tak Ada Ampun!
Berita

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI: Jika dr Bimanesh Salah, Kami Tak Ada Ampun!

Ketua MKEK IDI berharap KPK berkoordinasi terlebih dahulu dengan IDI sebelum mengumumkan penetapan tersangka dr Bimanesh ke media. Toh, tanpa gembar-gembor di masyarakat, IDI pun telah memeriksa dokter-dokter yang berkaitan dengan Setya Novanto.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Yang Premier belum ada putusan?

Belum. Kita minta kepada profesinya untuk menilai dokter itu (apakah) berbuat sesuatu yang tidak benar atau tidak. Kan kalau sangat spesifik (keilmuannya), kita minta profesi.

 

Okelah pemeriksaan etik dr Bimanes masih dalam proses. Namun, idelnya apabila seorang dokter diajak bekerja sama untuk memanipulasi rekam medis, bagaimana seharusnya sikap dokter tersebut?

Dokter itu secara sumpahnya, ya dia harus menolong pasien, sesuai dengan sumpah dokternya. Jangankan masalah korupsi, masalah dalam perang saja, kalau ada musuh tertembak, musuh itu ada di depan dokter Indonesia, tapi musuh itu musuh negara Republik Indonesia, kita mesti tolong. Bukan kita mesti tembak dia sekaligus biar mati, tidak begitu caranya.

 

Jadi, saya harus melihat dulu, itu proses etika yang tidak bisa langsung disamakan dengan proses hukum. Kalau memang dalam proses etika itu kita melihat dia ada memanipulasi dan sebagainya, tentu kita akan hukum. Tidak boleh yang seperti itu. Tapi, kalau ada yang seperti itu, lebih baik laporkan saja kepada MKEK, kita akan melakukan evaluasi dan verifikasi, betul nggak laporan masyarakat itu.

 

Dulu, waktu saya bikin kerja sama dengan (Pimpinan KPK Jilid III) Abraham Samad, Pak Abraham tuh mengeluh kepada saya karena banyak dokter yang membuat surat untuk berobat ke Singapura. Jadi, saya bikin perjanjian sama Pak Abraham Samad, semua surat-surat yang (pasiennya) mau dikirim ke Singapura, kita verifikasi ke penyidik.

 

Kalau IDI bilang ini tidak perlu, ya tidak perlu. Kalau ada dispute antara dokter pribadi itu dengan IDI, maka yang dimenangkan harus IDI, karena IDI itu yang mengampu keilmuan. Maka, saat itu tidak ada lagi dokter yang kirim-kirim pasien ke Singapura, terutama yang terindikasi sebaga koruptor. Jadi, itu prosesnya model begitu kita tuh.

 

Laiknya advokat, apakah seorang dokter ketika menjalankan tugas profesinya tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata?

Kalau sesuai dengan tujuan, sesuai dengan pekerjaan sumpah dokternya ya tidak bisa dong dipidana. Ini saya kasih contoh. Misalnya, negara meminta hukuman kastrasi atau kebiri kepada pemerkosa (anak). Ya negara boleh bikin perintah itu, tetapi dokter tidak akan melaksanakan. Kenapa? Karena sumpah dokter tidak menyakiti pasien atau menyakiti human being, manusia. Justru dia harus memelihara kehidupan.

 

Jadi, kastrasi kita tolak waktu itu. Karena apa? Karena tidak sesuai dengan sumpah dokter. Bukan kita mau membela dokter, nggak. Sumpahnya ya harus kita bela, tetapi kalau tidak sesuai sumpahnya, ya kita keluarkan dari anggota (IDI).

 

Tapi, kalau (pelanggaran itu) dilakukan di luar sumpah jabatannya?

Pasti kena.

 

Kalau ada seorang dokter yang memanipulasi rekam medis, bagaimana?

Kalau memang iya, terbukti (bisa kena) Kita kan ada tingkat kesalahannya. Dari mulai ringan, sedang, sampai berat. Kalau berat ya kita berhentikan dari anggota IDI.

 

Apakah sanksi pemberhentian otomatis mencabut izin praktik?

(Sanksi pemberhentian) Paling berat. Kalau dia sudah tidak jadi anggota IDI, tidak bisa praktik dia. Tidak bisa jadi dokter dia. Tidak punya izin lagi.

 

Secara teknis, bagaimana proses sidang etik kedokteran di IDI hingga pencabutan izin praktik?

Bila majelis etik digelar, diambil keputusan seperti itu (pemberhentian dan pencabutan izin praktik), kemudian dikukuhkan di muktamar. Di muktamar itu dia akan dibela oleh pembelanya, ada tim pembelanya kita siapkan dari dokter juga. Standard Operating Procedure (SOP) nya seperti itu.

 

(Jumlah majelis dalam sidang pemeriksaan etik) Biasanya ganjil. Majelis etik, kita biasanya membentuk tim majelis. Jadi, saya (Ketua MKEK IDI) membuat SK (Surat Keputusan) untuk menentukan siapa ketua majelisnya, siapa anggota-anggota majelisnya. Biasanya itu orang yang ilmunya hampir sama (dengan yang disidangkan). "Fair play" ada di sana. Tidak mungkin (majelis etik) orang yang beda keilmuan, bidang karena tidak paham. Jadi, orang yang sama, yang mendekati, atau keilmuannya mendekati.

 

Setelah itu, putusan majelis etik dikukuhkan di muktamar? Dan, siapa yang mengeksekusi putusan?

Iya. Jadi, oleh PB IDI dieksekusi, orang ini dicoret sudah, keluar dari keanggotaan.

 

Apa dalam proses etik kedokteran, seorang dokter yang berstatus tersangka secara pidana otomatis izin praktiknya dicabut?

Kalau tersangkanya itu tidak ada urusannya dengan etika, tidak terkait dengan kode etik dokter, ya tidak. Itu kalau beda urusannya sama kode etik dokter. Tapi, kalau (kasus pidananya) ada urusannya sama kode etik dokter, iya (dicabut).

 

Misalnya, dia membunuh orang, bunuh orang itu kan tidak ada urusannya sama kode etik kedokteran. Kode etik kedokteran itu kan menghubungkan dokter dengan pasiennya, dokter dengan dokter. Bukan dokter dengan proses-proses di luar itu. Etik itu hubungan dokter dengan pasien, dokter dengan dokter.

 

Jadi, kalau tidak ada hubungan dengan etika kedokteran, belum tentu izin praktiknya dicabut?

Iya. Kalau dia nyolong, merampok, itu kan tidak ada urusannya dengan etik kedokteran dia.

 

Lantas, dokter itu masih bisa berpraktik setelah menjalani hukuman pidananya?

Iya, karena dia tidak berada dlm konteks itu. Kita hanya bisa menghukum dalam konteks sumpahnya dia sebagai dokter.

 

Adakah imbauan Ketua MKEK IDI untuk dokter-dokter lain di luar sana agar menghindari ajakan yang melanggar hukum?

Kalau kita sih bilangnya, dokter itu hanya menangani apa yang diindikasikan saja. Melakukan yang sesuai dengan indikasi (medis). Kalau dia sakit ya berarti memang ada indikasi dia sakit. Tapi, kalau tidak ada indikasi sakit, ya tidak usah. Kalau ada hal-hal yang di luar indikasi, tidak usah lah. Misalnya, ada yg minta dibikinkan surat sakit padahal orangnya tidak sakit, ya tidak sudah. Ngapain kita urusin yang kayak begitu? Tapi, kalau memang dia sakit, kita harus urusin. Harus objektif.

 

Tags:

Berita Terkait