Ketua ADHAPER, Efa Laela Fakhriah: “Hukum Acara Perdata Harusnya Mengikuti Perkembangan Masyarakat”
Konferensi ADHAPER 2018:

Ketua ADHAPER, Efa Laela Fakhriah: “Hukum Acara Perdata Harusnya Mengikuti Perkembangan Masyarakat”

Perhelatan Konperensi Nasional Hukum Acara Perdata V di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur telah usai. Rekomendasi pun sudah disampaikan.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Bagian mana dari HIR dan RBg yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini?

Kalau berpegang kepada azas-azas umum, memang masih banyak yang bisa dipakai. Hanya saja ini produk masa kolonial. Selain itu ada perkembangan hukum yang ditempatkan hukum materil. Itu hal yang salah. Misalnya UU ITE. Itu hukum materil yang juga mengatur alat bukti elektronik dan pembuktian yang seharusnya diatur dalam hukum formil. Dari segi ketertiban penyusunan peraturan perundang-undangan itu tidak baik.

 

Dalam hal teknis, ada perkembangan alat bukti elektronik yang belum dikenal dalam HIR dan RBg.  Karena tidak diatur secara jelas di hukum acara, hakim tidak terikat. Terserah dia mau dipakai atau tidak. Tapi kalau ada di hukum acara, hakim akan sangat memperhatikan karena dia terikat hukum acara. Tidak hanya hakim tapi juga semua penegak hukum.

 

(Baca juga: Mengenal HIR dan RBg Beserta 13 Perbedaannya)

 

Bagaimana bentuk pengaruh perkembangan teknologi dalam alam bukti di hukum acara perdata?

Mau tidak mau saat ini ada banyak sekali alat bukti elektronik yang harus diterima di persidangan. Dan alat bukti elektronik itu memang diterima di masyarakat. Masyarakat sudah tidak merasa asing dengan alat bukti elektronik. Bahkan sekarang transaksi sekian miliar cukup dengan bukti lewat WhatsApp (aplikasi media sosial di ponsel-red.). Itu diterima di masyarakat. Tetapi ini belum dijadikan norma hukum. Harusnya dinormakan dalam hukum acara. Itu yang penting. Saya menulis disertasi tentang ini. Perkembangan yang harus ditata sedemikian rupa agar menjadi dasar pedoman bagi penegak hukum.

 

Hakim belum tentu satu suara soal perkembangan alat bukti dalam bentuk elektronik. Ada yang menerimanya dalam persidangan, ada yang menolak. Bagaimana tanggapan Anda?

Justru itu karena pengaturannya yang sembrono. Ditempatkannya dalam hukum materil UU ITE. Kalau ditempatkan di hukum acara, maka hakim tidak boleh menolak. Perkembangan soal alat bukti elektronik harusnya dimasukkan langsung dalam hukum acara. Karena adanya di UU ITE, dianggap itu hukum formil. Bukan hukum acara untuk diikuti hakim. Seharusnya perkembangan ini dimasukkan dalam perubahan hukum acara. Jadi hakim tidak punya kemungkinan pilihan lain.

 

(Efa Laela Fakhriah lahir di Bandung 6 Juli 1961. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum di Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1984; magister hukum dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; dan S3 ilmu hukum dari kampus Unpad Bandung, tempat kini ia mengabdi. Ia telah mengabdikan diri di almamaternya sejak 1986 hingga sekarang. Ia banyak mengikuti kegiatan di kampus dan di luar kampus berkaitan dengan hukum acara perdata. Misalnya, menjadi anggota Tim Perancang RPP ALat Bukti Elektronik. Karyanya antara lain Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata (1999), Alternative Dispute Resolution di Indonesia (2000); Mediasi, Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (2004); dan Actio Popularis dalam Kerangka Hukum Acara Perdata Indonesia (2008). Di kampus, ia pernah mengepalai bagian hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung).

 

Rekomendasi apa saja yang ADHAPER siapkan untuk perkembangan hukum acara?

Di antaranya soal alat bukti elektronik itu. Secara pribadi saya terlibat penyusunan soal small claim court, peradilan gugatan sederhana. Alhamdulillah  diakomodasi dalam RUU Hukum Acara Perdata. Ada juga sistem pembuktian terbuka yang saya usulkan, juga sudah diakomodasi.

Tags:

Berita Terkait