Ketidakjelasan Pranata atau Inkapabilitas Analisis Hakim dalam Kepailitan BUMN
Kolom

Ketidakjelasan Pranata atau Inkapabilitas Analisis Hakim dalam Kepailitan BUMN

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah unit usaha yang membawa nama besar bangsa. Nama besar bangsa dan pemerintahan suatu negara juga akan sangat terpengaruh oleh kemampuan BUMN untuk bersaing dalam kancah bisnis nasional maupun internasional

Bacaan 2 Menit

 

Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN merumuskan:

“ 1. 

   2. Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang

berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

   3. …

   4. Perusahaan Umum yang selanjutnya disebut Perum adalah BUMN yang seluruh

modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan”.

 

Ketentuan–ketentuan tersebut, apabila dikaitkan satu sama lain, jelas akan menimbulkan pertanyaan: BUMN manakah yang bisa dipailitkan secara langsung dan tidak terikat dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan?

 

Apabila kita melihat rumusan di atas, khususnya ketentuan Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN serta dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan, jelas bahwa pengecualian yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan tersebut merujuk pada BUMN yang berbentuk Perum dimana kepemilikannya tidak terbagi atas saham dan bergerak dibidang kepentingan publik. Apabila BUMN berbentuk Perum tersebut dapat secara langsung dipailitkan oleh krediturnya akan mengakibatkan keguncangan masyarakat akibat tidak tersedianya layanan publik. Layanan publik seharusnya dijalankan oleh perusahaan BUMN berbentuk Perum. Ini sejalan dengan filosofi pengecualian bentuk-bentuk usaha tertentu seperti perbankan, asuransi, dana pensiun sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UU Kepailitan.

 

Dalam perkara kepailitan PT Iglas (Persero) yang diputus oleh Putusan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No.111 PK/Pdt.Sus/2009 tertanggal 21 April 2010, muncul suatu ketidakpastian mengenai status BUMN berkaitan dengan pertanyaan BUMN yang manakah yang dapat dipailitkan secara langsung oleh krediturnya di Pengadilan Niaga? Mengingat dalam putusan tingkat kasasi berdasarkan Putusan No.397 K/Pdt.Sus/2010 Majelis Hakim Kasasi memutuslan PT Iglas (Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya atas dasar pertimbangan hukum bahwa PT Iglas (Persero) bukanlah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik dan kepemilikannya terbagi atas saham (lihat penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan).

 

Sedangkan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam pertimbangannya mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT Iglas (Persero) adalah dikarenakan kepemilikan Negara dalam PT Iglas (Persero) adalah 100% dikarenakan saham PT Bank BNI sebesar 30% sudah habis masa berlakunya dan harus dikembalikan kepada Negara Republik Indonesia.

 

Dari pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali tersebut, penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim Peninjauan Kembali telah melupakan fakta bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan memberikan batasan bahwa BUMN yang tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya adalah BUMN yang  kepemilikannya seluruhnya dikuasai oleh Negara dan tidak terbagi atas saham.

Halaman Selanjutnya:
Tags: