Kasus Pemidanaan Pelanggar PPKM dan Berjualan Saat PPKM sebagai Overmacht
Kolom

Kasus Pemidanaan Pelanggar PPKM dan Berjualan Saat PPKM sebagai Overmacht

Para pelaku UMKM dalam situasi sulit akibat pandemi Covid-19 sangatlah manusiawi berupaya keluar dari desakan krisis dan himpitan ekonomi.

Bacaan 6 Menit
Eva N Christiany. Foto: Istimewa
Eva N Christiany. Foto: Istimewa

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya No.18/Pid.C/2021/PN.Tsm terhadap ALS, seorang pemilik kedai kopi di Tasikmalaya menarik untuk diulas. ALS divonis bersalah karena melanggar Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan protokol kesehatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 34 Ayat (1) jo. Pasal 21 I ayat (2) huruf (g) dan (f) Perda Provinsi Jawa Barat No. 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat menarik perhatian publik.

Ada tiga kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, kepentingan individu-individu, kepentingan sosial atau masyarakat, atau kepentingan negara. HB. Vos, mengatakan "…Het starfrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen" yang berarti hukum pidana berfungsi untuk melawan tindakan-tindakan yang tidak normal. Tindakan-tindakan tidak normal dimaksud adalah tindakan-tindakan yang menyerang kepentingan individu, kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan negara.

Dalam kaitannya dengan melindungi kepentingan negara dan masyarakat, pelanggaran terhadap prokes selama pelaksanaan PPKM Darurat (sekarang PPKM Level 1-4) dapat dikenakan sanksi pidana, karena protokol kesehatan dan PPKM bertujuan untuk melindungi kepentingan individu, kepentingan sosial masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara dari bahaya virus covid-19 yang menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi. Asas hukumnya adalah rechtsguterschutz durch rechtguter verletzung (melindungi hak, kepentingan dan sebagainya dengan menyerang, memperkosa hak, kepentingan, dan sebagainya).

Tetapi dari sisi keadilan, penyelesaian kasus ALS melalui sanksi pidana dipandang sebagai suatu upaya yang berlebihan (over criminalization). Apalagi menurut asas ultimum remedium, sanksi pidana sebagai obat terakhir. "Hukum pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum", demikian dikatakan G.E Mulder, guru besar emiritus hukum pidana Universitas Nijmegen.

Kekhilafan Putusan Hakim

Dikutip dari amar Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No.18/Pid.C/2021/PN.Tsm terhadap ALS yang melanggar prokes selama pelaksanaan PPKM di Jawa Barat, antara lain menyatakan Terdakwa ALS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran melakukan kegiatan yang berpotensi menyebabkan kerumunan di tempat usaha tanpa memperhatikan level kewaspadaan daerah. Terdakwa dijatuhkan pidana denda Rp5 juta, jika tidak dibayar dipidana denda kurungan selama 3 hari.

Putusan Hakim PN Tasikmalaya terhadap ALS itu jatuh pada Selasa, 13 Juli 2021. Mendengar putusan tersebut, ALS pun memilih menjalani hukuman pidana kurungan selama 3 hari lantaran tidak memiliki uang untuk membayar denda ke negara.

Ada kekeliruan dan kekhilafan yang nyata hakim dalam putusan tersebut. Pertama, pelanggaran terhadap prokes saat pelaksanaan PPKM sebagaimana tersebut pada Pasal 21 I ayat (2) jo. Pasal 34 Ayat (1) Perda Jawa Barat No. 5 tahun 2021 dikualifikasikan sebagai pelanggaran, dalam artian sebagai delik menurut UU (wetsdelicten), bukan kejahatan (misdrijf).

Pelanggaran adalah suatu delik yang lebih ringan daripada kejahatan. Pelanggaran pada prinsipnya (in casu pelanggaran prokes) tidak dipidana. Pasal 54 KUHP menyebutkan mencoba melakukan pelangggaran tidak dipidana. Hal ini berangkat dari filosofi bahwa KUHP tidak mau membatasi atau merampas kemerdekaan individu kalau hal itu tidak perlu. Hanya kejahatan yang dapat dipidana.

Kedua, rumusan delik Pasal 21 I ayat (2) jo. Pasal 34 Ayat (1) Perda Jawa Barat No. 5 tahun 2021 kabur (obscuur) dan ambigu pada frasa "berpotensi" sebelum frasa "menyebabkan". Bandingkan dengan rumusan Pasal 93 UU No.16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang secara ekpresis verbis menyatakan ".....dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyababkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu (1) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.00 (seratus juta rupiah)". Tidak ada frasa "potensi" sebelum frasa ‘’menyebabkan’’ dalam UU Kekarantinaan Kesehatan yang merupakan role mode regulasi dalam pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia.

Dalam doktrin hukum pidana, frasa "menyebabkan" melukiskan kualifikasi rumusan delik sebagai delik materil yang menghendaki adanya akibat tertentu yang harus terjadi. Lain hal dengan frasa "potensi", melukiskan kualifikasi rumusan delik sebagai delik percobaan (poging delict). Jika keadaan yang dimaksud tidak terjadi (in casu kerumunan, kedaruratan kesehatan), maka delik belum selesai atau belum ada. Menurut Pasal 53 KUHP, selama tidak terjadi kerumunan, kedaruratan kesehatan, maka hanya ada percobaan (poging). Sekali lagi, percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana (Pasal 54 KUHP).

Dengan demikian, Ketentuan Pasal 21 I ayat (2) jo. Pasal 34 Ayat (1) Perda Jawa Barat No. 5 tahun 2021 bertentangan dengan (1) asas lex certa (undang-undang pidana berumus pasti dan tidak bermakna ganda) dan (2) lex stricta (rumusan undang-undang pidana harus tegas dan tidak dapat dimaknai lain). Hanya perbuatan oleh UU pidana dengan tegas disebut sebagai peristiwa pidana (delik) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada individu yang dituduh melanggar ketertiban masyarakat.

Padahal menurut Lie Oen Hock, hakim melalui peradilan dapat menetapkan sendiri makna ketentuaan UU yang tidak jelas dalam suatu UU dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis, baik recht maupun wetshistoris. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 jo. Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ketiga, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.2399 K/Pid.Sus/2010 penerapan hukum harus diselaraskan dengan tuntutan keadilan masyarakat. Di sini hakim gagal memahami tuntutan keadilan masyarakat, incasu para pelaku UMKM yang pendapatannya anjlok selama pandemi dan fakta bahwa berjualan pada saat pelaksanaan PPKM adalah keterpaksaan karena keadaan dan himpitan ekonomi yang memaksa mereka nekat berjualan meski ada batasan dan larangan selama PPKM untuk bertahan hidup.

Jika merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, tidak ada sanksi pidana terhadap pelanggaran prokes, melainkan hanya dikenakan sanksi administrasi.

Pendekatan Korektif, Edukatif, dan Preventif

Ketaatan hukum itu semata-mata tidak hanya pada sanksi pidana. Hal ini dari sudut pandang cardinal policy adalah sesuatu yang salah kaprah. Seperti yang dikemukakan Merkel, seorang yuris Jerman, mengatakan bahwa "Der strafe komt eine subsididare stellung zu (tempat pidana adalah selalu subsider terhadap upaya hukum lainnya)."

Tujuan pemidanaan berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.39 PK/Pid.Sus/2011 adalah bersifat edukatif, korektif, dan preventif. Tujuan edukatif adalah upaya penanggulangan kejahatan dan/atau pelanggaran dengan memanfaatkan mekanisme yang bernuansa positif melalui sarana pendidikan, pengajaran dan sosialisasi yang dapat mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan (influencing views of society on crime and punishment).

Tujuan preventif adalah suatu upaya pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment). Selama norma belum dilanggar, sanksi pidana hanya memiliki fungsi preventif. Tujuan korektif adalah suatu upaya untuk memperbaiki kesalahan dan keadaan melalui upaya ganti kerugian, pemulihan kerusakan, pembinaan, dan pengawasan kepada pelaku.

Berjualan saat PPKM sebagai Overmacht

Secara hukum, tindakan para pelaku UMKM yang tetap berjualan meski ada pembatasan dan larangan selama pelaksanaan PPKM di kala pandemi Covid-19 merupakan suatu keterpaksaan (overmacht) yang disebabkan oleh keadaan darurat (noodtoestand). Pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Bencana Nasional Non-Alam melalui Keppres No. 12 Tahun 2020. Dengan demikian secara an sich pandemi Covid-19 merupakan keadaan darurat (noodtoestand) yang dalam doktrin hukum pidana berarti suatu situasi sulit yang diakibatkan oleh keadaan eksternal.

Di tengah situasi sulit dan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang menguji kebertahanan dan keberlangsungan hidup sektor UMKM. Para pelaku UMKM dihadapkan pada pilihan yang sulit dan dalam pertentangan kepentingan. Antara safety di rumah (baca: kepentingan untuk tidak tertular) tetapi terancam akan kemiskinan dan kelaparan atau tetap berjualan saat PPKM demi keberlangsungan hidup (baca: kepentingan untuk bertahan hidup) meski berisiko tertular Covid-19 dan disanksi oleh petugas.

Yurisprudensi dalam hukum pidana telah sepakat memperluas pengertian noodtoestand yang menyangkut situasi aktual yang dihadapi pelaku yang dianggap mempunyai pembenaran yang layak untuk melanggar peraturan perundang-undangan.

Seperti misalnya dalam arrest hoge raad 15 Okt.1923,NJ 1923,1329,W 1113, tentang seorang tukang kacamata yang setelah jam tutup toko (di luar waktu yang dibolehkan), menolong seseorang yang mengalami kesulitan karena kehilangan kacamata. Tindakannya melayani pembeli setelah jam tutup toko merupakan pelanggaran atas Pasal 9 Peraturan Kotamadya Amsterdam tentang jam tutup toko. Namun, rechtbank memutus bahwa tukang kacamata tersebut tidak dapat dipidana dan melepaskan dari segala tuntutan hukum, karena dalam situasi tersebut seorang ahli memiliki kewajiban sosial untuk membantu pihak yang membutuhkan pertolongannya.

In casu a quo, para pelaku UMKM dalam situasi sulit akibat pandemi Covid-19 sangatlah manusiawi berupaya keluar dari desakan krisis dan himpitan ekonomi. Situasi sulit tersebut memberikan tekanan/daya paksa (overmacht) kepada para pelaku UMKM, mau tak mau mereka harus berjualan untuk mencari makan jika tidak ingin mati kelaparan.

Bila dikaitkan dengan kaidah hukum arrest hoge raad di atas, maka perbuatan para pelaku UMKM yang nekat jualan selama PPKM secara sosiologis tidaklah bertentangan dengan kewajiban sosialnya juga peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mendapatkan penghasilan dan mencari makan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. UUD 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, menyatakan setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Tegasnya lagi, konsiderans huruf c UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyatakan kekarantinaan kesehatan harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dan dasar-dasar kebebasan seseorang. Sehingga tindakan tersebut mendapat alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) tidak dipidana. Pasal 48 KUHP menyatakan bahwa siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Siapa yang bertindak karena overmacht, demikian dikatakan Fichte, exampt von der rechtsordung (dikecualikan dari tertib hukum).

Eva N. Christianty, S.H. M.H. CPL, Advokat dan Konsultan Hukum di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait