Ike Farida dan Konsep Outsourcing Berkeadilan
Outsourcing Berkadilan:

Ike Farida dan Konsep Outsourcing Berkeadilan

Pekerja alih daya atau outsourcing menjadi salah satu problem ketenagakerjaan yang sering mendapat perhatian. Kalangan buruh selalu mengangkat isu ini setiap memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei.

Bacaan 2 Menit

Selain itu di Indonesia ini harusnya ada aturan tentang paruh waktu atau part time. Kalau di luar negeri ketika mendekati jam makan siang karyawan ditambah, dia tidak bekerja satu hari delapan jam tapi sehari cuma tiga jam. Ini di Indonesia tidak ada. Di Indonesia hanya ada pekerja bulanan dan harian sehingga pengusaha restoran misalnya ketika dia mau meng-hire pekerja lebih banyak pada jam makan siang dan makan malam dibenturkan dengan aturan pekerja bulanan. Padahal kalau di Indonesia ada aturan tentang kerja paruh waktu makin banyak orang yang bisa kerja, pengangguran ditekan. Berkeadilan. Adil untuk semua, menjamin hak pekerja dengan yang lain, ketika permanen punya hak untuk karir bisa naik ke atas, pekerja outsourcing juga punya karir karena juga punya kemampuan, kesempatan dan upah tidak boleh terlalu jauh.

Tapi konsep saya kalau misalnya sampai pemerintah mengeluarkan aturan tentang outsourcing, bagaimana tetap tunduk pada Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2013 yaitu si pekerja outsourcing hanya tiga tahun saja, setelah tiga tahun dia harus dipermanenkan. Tidak boleh di PKWT-kan, itu konsep saya. Namun, agar pekerja juga tidak manja, ketika terjadi pengalihan jangan cuma hak yang dialihkan, misalnya si A di perusahaan outsourcing mendapatkan SP2, ketika berpindah perusahaan outsourcing maka SP2 juga dilanjutkan. Nah sekarang itu tidak ada aturan itu. Ini salah satu konsep saya.

Lalu bagaimana dengan utang? Punya utang di perusahaan lama terus dialihkan bagaimana? Apakah utang juga dialihkan atau harus dilunasi? Terus tentang perjanjian kerja, kalau konsep saya perjanjian kerja yang sudah ditandatangani dilanjutkan hingga habis masa waktu, kemudian baru perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing yang baru dialihkan. Kalau misalnya ada penolakan dari pekerja, maka tidak lagi dilindungi oleh TUPE dan sebaliknya. Jadi harus ada aturan yang lengkap, sekarang itu tidak ada.

Anda begitu konsen dengan kelangsungan pekerja (TUPE). Apakah itu yang menjadi problem utama dalam praktik outsourcing di Indonesia saat ini?

Sebenarnya kalau TUPE tidak lahir, masalah ini seperti telor dan ayam. Sekarang ini pengawasan di Kemnaker ibarat satu banding tiga ratus petugas pengawasannya. Jadi petugas pengawas sangat sedikit dan nampaknya minat untuk jadi petugas pengawasan berkurang. Intinya kalau tidak ada TUPE asalkan pengawasan dan kepatuhan tinggi itu tidak masalah namun yang ada adalah UU tidak dijalankan karena sanksi lemah kemudian pengawasan lemah sampai lahirnya TUPE. TUPE menyelesaikan masalah tentang kelangsungan kerja tetapi menimbulkan masalah lain ketidakadilan siapa yang bertanggung jawab membayar TUPE.

Bagaimana dengan pengawasan DPR?

Kalau dilihat DPR sampai sekarang belum maksimal dari 2003 sampai sekarang. Saya menaruh harapan besar kepada DPR karena sekarang Komisi IX juga cukup aktif, mudah-mudahan UU tentang outsourcing ini masuk Prolegnas. Dan itu harus dari inisiatif DPR mengingat DPR adalah wakil rakyat.

Tags:

Berita Terkait