Ike Farida dan Konsep Outsourcing Berkeadilan
Outsourcing Berkadilan:

Ike Farida dan Konsep Outsourcing Berkeadilan

Pekerja alih daya atau outsourcing menjadi salah satu problem ketenagakerjaan yang sering mendapat perhatian. Kalangan buruh selalu mengangkat isu ini setiap memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei.

Bacaan 2 Menit

Bagi perusahaan outsourcing, banyak ketidakadilan, salah satunya dalam UU No. 13 Tahun 2013 mengatakan apa saja jenis pekerjaan yang bisa di outsourcing. Kata Undang-Undang apa saja selama pekerjaan itu adalah pekerjaan penumpang. MK tidak bilang apa-apa mengenai itu. Tapi kemudian Permenaker No. 19 Tahun 2012 bilang hanya lima pekerjaan yaitu catering, sopir, kemudian sekuriti, seperti itu. Itu permen yang bilang. Kemudian  perbankan bilang oh kita beda ya, mereka keluarkan Peraturan Bank Indonesia, dan diganti diganti dengan Peraturan OJK. Lebih dari lima pekerjaan yang bisa di outsource, kalau tak salah ada 19. Kementerian ESDM juga bukan lima, ada 15 kalau tidak salah. Nah masalahnya ketika ada permasalahan di Kementerian ESDM Depnaker mau membantu menyelesaikan, Depnaker kan bilangnya harusnya lima, bukan lima belas, itu menjadi tidak adil juga. Ini bukan saja tidak adil tapi tidak ada kepastian hukum.

Saya menyarankan outsourcing ini diatur di kelas UU, bukan dikelas Permen. Karena Permen itu tidak adil, terus tata cara pembuatannya keliru tidak sesuai dgn UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Segala sesuatu yang telah dikeluarkan oleh MK Pemerintah harus mengubah Undang-Undang, kelasnya Undang-undang, bukan Peraturan Menteri (Permen) karena Permen terlalu di bawah, secara hierarki dia di bawah dan tidak kuat. Kalau Undang-undang merupakan cantolan.

Sekarang ini masih dalam posisi keadaan yang  belum bisa dikatakan adil baik dari sisi pengusaha maupun pekerja. Pekerja selesai ada keberlangsungan kerja, lalu kemudian haknya siapa yang bayar TUPE masih saling lempar. Di lapangan TUPE belum berjalan di semua perusahaan di sebagian kecil. Alasan dikeluarkan Permen masih banyak keliru secara perundang-undangan. Tidak adil. Tadinya tidak ada pembatasan mengenai pekerjaan yang outsourcing di Undang-Undang, kok  di Permen dibatasi padahal MK tidak melarang. Tidak adil dan belum adil bagi semua. Hak dan kewajiban belum seimbang antara pekerja, pengusaha dan perusahaan outsourcing.

Apakah outsourcing di Indonesia masih lemah daya laku dan implementasinya?

Saya lihat setelah lahirnya putusan MK ada permasalahan yang terselesaikan buat pekerja, kalau di outsource, pekerja kesannya sudah seperti hantu yang mereka tidak mau temui, sudah ingin sesuatu yang dihindari. Karena outsourcing itu punya konsep di masyarakat Indonesia untuk masyarakat kelas rendah, diskriminasi, upah rendah, tidak ada jaminan kelangsungan kerja, tidak ada kesempatan karir. Saya maunya kalau bisa permanen. Padahal di negara-negara maju yang saya teliti, Jerman, Jepang, Amerika dan Inggris itu outsourcing menjadi pilihan. Mereka ingin outsourcing malah karena upah tinggi, jaminan ada, kelangsungan kerja, karena upah tinggi bisa memilih.

Dalam disertasi Anda menggagas sebuah sistem outsourcing yang berkeadilan bagi para pemangku kepentingan. Seperti apa sistem outsourcing yang berkeadilan?

Kalau di Indonesia outsourcing kebanyakan untuk kerah biru, belum sampe ke kerah putih. Oleh karenanya disertasi saya kemaren itu bagaimana caranya membangun sistem outsourcing. Karena ini harus dibangun karena kalau tidak Indonesia tertinggal. Jangankan dari dunia internasional, dari negara Asia kita tertinggal. Filipina saja  mereka sudah punya sistem bahkan membatasi uang fee untuk perusahan outsourcing dari perusahaan user minimum sekian persen. Nah adilnya adalah buat pekerja sudah mendapatkan satu solusi bahwa dia bisa bekerja terus, tidak adilnya buat pengusaha outsourcing kok tadi punya bidang usaha banyak jenis pekerjaannya sekarang dibatasi cuma lima. Itu tidak adil buat perusahaan outsourcing.

Idealnya sistem outsourcing harus balance antara hak dan kewajiban para pihak. Dalam hal ini pekerja harus diberikan kesempatan yang sama dengan pekerja yang lain, upah yang sama, kesempatan karir yang sama. Seharusnya dia tidak boleh lebih rendah. Rambu-rambu aturan hukum yang jelas dan pasti, aturan setingkat Undang-Undang, dan pengawasan dari Kemenaker, harus ada sosialisasi yang cukup.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait