Hukum Acara (Formil), Dapatkah Disimpangi Hakim?
Kolom

Hukum Acara (Formil), Dapatkah Disimpangi Hakim?

Sebagai hukum formil, maka hukum acara bersifat mengikat, memaksa dan harus ditaati oleh semua pihak yang menggunakannya dan tidak membuka kemungkinan untuk penafsiran.

Bacaan 6 Menit

Berdasarkan Pasal 52 sampai Pasal 55 POJK No. 28, konsumen asuransi selaku kreditor dapat mengusulkan kepada OJK untuk mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi yang memenuhi persyaratan untuk dipailitkan ke pengadilan niaga. OJK, setelah memeriksa kelengkapan berkas yang disampaikan kreditor, memeriksa atau meminta keterangan dari perusahaan dan bila berkesimpulan menyetujui permohonan konsumen asuransi selaku kreditor, maka OJK lah yang “mewakili” kepentingan konsumen mengajukan permohonan pailit kepada pengadilan niaga yang berwenang.

Menurut Penulis, sekalipun tidak diatur, ketentuan Pasal 52 sampai Pasal 55 POJK No. 28 secara mutatis mutandis berlaku juga apabila konsumen asuransi mengusulkan PKPU terhadap perusahaan asuransi melalui OJK, sesuai Pasal 223 UUKep dan Pasal 25 ayat (1) UU OJK yang menyebutkan: “Dewan Komisioner mewakili OJK di dalam dan di luar pengadilan”.

Lalu apa dasar pertimbangan hakim mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan nasabah perorangan terhadap Asuransi Kresna? Ternyata hakim tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap pembatasan ketentuan Pasal 223 UU Kepailitan, selain berpendapat syarat formil telah dipenuhi dengan ditandatanganinya permohonan PKPU oleh pemohon dan advokatnya. Hakim menyimpangi hukum acara dengan melonggarkannya, dengan mengambil alih alasan pemohon sudah mengirim surat tertanggal 11 Agustus 2020 kepada Ketua Dewan Komisioner OJK, meminta izin kepada Komisioner OJK agar pemohon dapat mengajukan permohonan PKPU terhadap Asuransi Kresna.

Namun karena pihak OJK tidak memberikan tanggapan atau melakukan tindakan dalam waktu paling lama 10 hari kerja setelah permohonan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum berdasarkan pasal 53 ayat (2) dan (3) UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Penulis berpendapat, pertimbangan ini keliru, sebab tidak secara otomatis jika OJK dianggap menyetujui, maka yang berhak mengajukan PKPU adalah pemohon, melainkan haruslah tetap pihak OJK, sebab sikap tidak memberikan tanggapan dalam hukum administrasi disebut putusan fiktif positif dan berdasarkan Pasal 53 ayat (4) dan (5) UU No. 30 Tahun 2014 Jo. PERMA No. 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan, maka pemohon harus mendaftarkan permohonan fiktif positif di Pengadilan Tata Usaha Negara di wilayah kedudukan termohon (OJK) berada, agar PTUN mewajibkan Dewan Komisioner OJK untuk menerbitkan keputusan dan atau “tindakan” sesuai permohonan pemohon.

Hakim juga mempertimbangkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 17 Mei 2005, pemohon selaku perseorangan dapat mengajukan PKPU terhadap perusahan asuransi, padahal sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi telah menolak uji materiil Pasal 223 dan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan.

Bagaimana mengkoreksinya?

Terhadap putusan hakim yang keliru, pihak yang tidak puas dapat mengajukan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali, namun Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan: “terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun”. Dampak putusan PKPU adalah ditunjuknya pengurus dan hakim pengawas guna memimpin rapat kreditor dan memberikan kesempatan pada debitor untuk menyampaikan rencana perdamaian yang mengatur mekanisme pengembalian dana kreditor dan apabila tidak diterima mayoritas kreditor dalam pemungutan suara (voting) akan berdampak pailit, dan menjadi tidak jelas nasib dana nasabah pemegang polis, tanpa peran serta OJK dalam mengawasinya.

Tags:

Berita Terkait