Gagasan Berani Kabinet Pak Boer
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

Gagasan Berani Kabinet Pak Boer

Sebelum KPK hadir, Indonesia sudah memiliki kebijakan dan sejumlah lembaga antikorupsi. Bubar karena beragam sebab.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Baca:

 

Pak Boer juga menegaskan, sebagaimana diuraikan dalam biografi, RUU Antikorupsi bukan untuk menghadapi pemilihan anggota Konstituante yang berlangsung pada Desember 1955. Tidak pula ditujukan kepada suatu partai atau golongan, tetapi dilakukan secara objektif. Tetapi ‘gangguan’ justru datang dari internal kekuasaan. Ketika naskah RUU Antikorupsi akan dibawa ke parlemen, anggota Kabinet Boerhanuddin pecah. Menteri Dalam Negeri kala itu, Mr Sunarjo, menyatakan partainya tak setuju membawa RUU ke parlemen. Sebelum Pak Boer mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno, Mr Sunarjo dan Menteri Agama KH M. Ilyas yang sama-sama berasal dari Partai NU, menyatakan mundur dari Kabinet.

 

Pak Boer, sebagaimana diuraikan dalam biografinya, menduga muncul kekhawatiran pengesahan RUU itu akan menyerempet kasus korupsi di Kementerian Agama. “Yang jelas lantaran khawatir kalau masalah ini berlarut-larut, maka RUU yang sudah setengah jalan itu terpaksa dihentikan, mengejar program pokok yang lebih prioritas, yaitu penyelenggaraan pemilihan umum”.

 

Tetapi  bagi NU, RUU Antikorupsi itu lebih bermotif non-hukum, yaitu untuk menyingkirkan lawan politik dalam Pemilu 1955. Terlebih, RUU memungkinkan seseorang ditangkap dan diadili tanpa melalui proses peradilan. Seperti ditulis Masdar F Mas’udi dan Syafiq Hasyim dalam buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (editor Azyumardi Azra dan Saiful Umam, 1998), NU berpandangan bahwa proses penangkapan tanpa melalui proses peradilan bertentangan dengan hukum Islam dan melanggar asas praduga tidak bersalah.

 

Meskipun ada penolakan dari dalam, Kabinet Pak Boer tetap berusaha mengajukan RUU itu untuk diteken Presiden Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia itu menolak menandatangani, dan meminta agar RUU dibahas melalui proses legislasi normal, yakni pembahasan dengan parlemen. Pada November 1955, Kabinet mengirimkan RUU Antikorupsi ke parlemen. Hingga Kabinet Boerhanuddin meletakkan jabatan pada Maret 1956, RUU Antikorupsi itu tak pernah dibahas di parlemen.

 

Vishnu Juwono, dalam bukunya Melawan Korupsi, Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia 1945-2014 menuliskan apresiasi atas gagasan Kabinet Boerhanuddin. “Di bawah pemerintahan Boerhanuddin itulah pertama kali selama era pascarevolusi sebuah inisiatif pemberantasan korupsi menjangkau para pejabat tinggi, meskipun itu dibantu Angkatan Darat”.

 

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Kabinet Boerhanuddin Harahap digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo. Ini kali kedua Ali diberi kesempatan membentuk pemerintahan sehingga disebut Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957). Mr Soenarjo dan M. Ilyas kembali masuk kabinet, dengan jabatan yang sama dengan sebelumnya.

Tags:

Berita Terkait