Freddy Harris: Tanpa Komersialisasi, Jangan Bicarakan Soal Kekayaan Intelektual
Profil

Freddy Harris: Tanpa Komersialisasi, Jangan Bicarakan Soal Kekayaan Intelektual

Prioritas utama dialihkan kepada peningkatan kinerja pendataan oleh DJKI yang menunjang komersialisasi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Dari berbagai produk kekayaan intelektual yang diatur oleh undang-undang, mana yang menjadi prioritas DJKI untuk difasilitasi?

Sebagai Dirjen KI, saya menyadari bahwa motor dari kekayaan intelektual ada di hak paten. Di seluruh dunia, hak paten menjadi motor kekayaan intelektual, komersialisasi inovasi paling banyak ada di sana. Kami sedang membenahi mekanisme pelayanan pendaftaran hak paten di kantor pelayanan DJKI. Saat ini DJKI sudah berhasil memenuhi standar internasional untuk pelayanan pendaftaran hak paten. Peningkatan kinerja para pemeriksa paten juga sudah kami tingkatkan. Backlog (penumpukan berkas) paten saat saya mengambil alih 2017 lalu tercatat ada sekitar 8000, sekarang sudah hampir selesai, tinggal 1000. Tahun 2019 tidak akan ada backlog lagi. Saya hanya perlu dua tahun untuk selesaikan itu dengan kerja tim yang baik.

 

Pemeriksaan paten itu antara 24-36 bulan, harusnya sudah tuntas diumumkan hasilnya paling lama setelah 36 bulan. Bayangkan masih ada pemeriksaan paten sejak 2010 dan 2013 di antara tumpukan berkas itu. Kami lakukan efisiensi kerja untuk memilah apa persoalan dari berkas-berkas yang masuk. DJKI lebih proaktif melayani para pemohon hak paten. Jadi tidak ada tumpukan pekerjaan yang tidak jelas. Kami juga ingin ada peningkatan pendaftaran hak paten dalam negeri. Sejauh ini permohonan hak paten hampir 80 persen dari luar negeri dan hanya 20 persen dari dalam negeri.

 

Saya katakan pada tim DJKI, kantor ini dibuat untuk melindungi inovasi dalam negeri. Kami bukan melayani kepentingan asing seperti kantor urusan penanaman modal. Selama ini permohonan hak paten dari dalam negeri sedikit mungkin karena dianggap susah dan rumit. Bisa juga karena memang lembaga-lembaga riset di universitas gagal menghasilkan produk yang layak dipatenkan.

 

Saya kunjungi kampus-kampus untuk menagih karya risetnya untuk mendaftarkan hak paten. Negara sudah menganggarkan dana untuk riset di universitas sebesar Rp2,4 triliun. Nah sekarang sudah kami bantu dengan filing yang baik agar produk riset jangan mengulang yang sudah ada dan bisa mendapatkan hak paten. Kebaruan dari penemuan hasil riset bisa diproyeksikan dengan membandingkan lebih dulu terhadap yang sudah terdaftar hak paten.

 

Apa yang menjadi tantangan terbesar selama setahun ini memimpin DJKI?

Tantangan terbesar adalah internal DJKI. Sudah terbiasa dengan zona nyaman cara kerja sebelumnya, terbiasa dengan pungutan liar, dan semacamnya. Itu yang lebih dulu saya bereskan. Nggak mungkin DJKI akan lebih baik kalau yang pungutan liar masih banyak. Dikatakan sekarang sudah hilang ya memang tidak, tapi setidaknya sudah 80 persen berkas paten bisa dibereskan dengan baik. Saya juga bangun komunikasi dengan konsultan hak kekayaan intelektual, agar menghentikan segala cara menyuap pemeriksa paten di DJKI.

 

Lebih baik diundang secara resmi untuk memberikan masukan dalam penyiapan dokumen pengajuan paten. Si pemeriksa paten jadi berhak menerima honor resmi dan kantor masing-masing pihak terkait jadi lebih bersih. Konsultan kekayaan intelektual bisa mengajukan pada kami untuk mengundang pemeriksa paten memberikan penjelasan dalam workshop resmi dan berhak mendapatkan honor resmi.

Tags:

Berita Terkait