Diskursus Teori Hukum Kodrat dalam Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia
Kolom

Diskursus Teori Hukum Kodrat dalam Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia

Pandangan aliran hukum kodrat terutama perkembangan terkini pantas menjadi diskursus untuk perbaikan sistem hukum di Indonesia.

Bacaan 5 Menit

Pada awal munculnya hukum kodrat masih bersifat religius atau supernatural (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001). Kemudian di masa abad pertengahan kebenaran dalam hukum kodrat disandarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab suci, seperti yang terdapat dalam pemikiran Thomas Aquinas (Aquinas, 1985 & Putro, 2011). Namun pada masa filsafat modern saat ini, hukum kodrat tidak lagi bersandarkan pada kitab suci, tapi lebih kepada pendekatan akal budi (rasio) (Tamanaha, Brian Z., 2001) yang berperan sebagai pembenaran moral dalam ideologi politik, hukum, maupun sistem sosial dan ekonomi yang dianut suatu negara (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001). Finnis berpendapat bahwa melalui rasio memungkinkan manusia untuk memahami dan menyimpulkan apa yang benar dan salah di masyarakat (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001).

Meski banyak perbedaan tentang pandangan isi prinsip-prinsip hukum kodrat, namun esensi hukum kodrat pada dasarnya tentang kayakinan bahwa ada moral yang berlaku secara universal (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001) tanpa harus dibuat dalam ketentuan/peraturan tertentu oleh penguasa. Oleh karena itu, teori hukum kodrat dapat dikatakan sebagai kontrol transendental terhadap kemungkinan para penguasa untuk memanipulasi hukum atau berbuat tidak adil (Putro, 2011).

Hukum kodrat bersifat abstrak dan sulit dipraktikkan, bisa saja dianggap sebagai kelemahan teori ini, ditandai dengan kritikan dari filsuf hukum lainnya, terutama filsuf aliran pemikiran Utilitarian Positivism, seperti Jeremy Bentham. Hukum kodrat dianggap gagal dalam memisahkan antara hukum positif dan hukum moral, nilai-nilai hukum kodrat tidak jelas dan tidak memiliki kepastian (Ratnapala, 2017).

Perkembangan pemikiran terkini mengenai hukum kodrat bisa dilihat dari teori moralitas yang diajukan Fuller (1997) dan Dworkin (1998). Fuller dan Dworkin bukan ahli teori hukum kodrat dalam pengertian tradisional, akan tetapi mereka melakukan pendekatan yang lebih kontemporer. Fuller dan Dworkin mengajukan teori hukum kodrat yang menegaskan adanya hubungan penting antara hukum dan moral. Fuller berpandangan pada akhirnya kewibawaan hukum harus mengacu pada sikap moral masyarakat. Artinya jika hukum mau berlaku efektif, maka sistem hukum minimal harus memiliki kandungan hukum kodrat di dalamnya.

Senada dengan itu, Dworkin seperti banyak ahli hukum kodrat lainnya menolak gagasan hanya kekuasaan saja yang dapat membenarkan hukum. Lebih jauh Dworkin berpandangan dalam tradisi hukum Anglo-American menuntut adanya integritas hukum. Di mana integritas hukum yang dimaksud tersebut tergantung pada "pembuat undang-undang dan hakim". Jika mereka membuat undang-undang atau mengadili secara sewenang-wenang, menurut Dworkin hukum kehilangan integritas dan otoritas moralnya (Ratnapala, 2017).

Dari argumentasi-argumentasi di atas menurut hemat Penulis, pandangan aliran hukum kodrat terutama perkembangan terkini yang disampaikan Fuller dan Dwarkin sangatlah pantas menjadi diskursus untuk perbaikan sistem hukum di Indonesia. Mengingat dari data survei SMRC dan LSI di atas, penilaian masyarakat baik citra penegakan hukum maupun badan legislatif masih cukup memprihatinkan. Dengan harapan ke depan tidak hanya kepastian yang diutamakan, tetapi juga perlu melihat nilai moralitas yang ada dalam masyarakat, keadilan yang tidak berpihak, dan integritas dari hukum itu sendiri.

*)Sutan Sorik, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UI/Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRPolitik BRIN).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait