Diskursus Teori Hukum Kodrat dalam Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia
Kolom

Diskursus Teori Hukum Kodrat dalam Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia

Pandangan aliran hukum kodrat terutama perkembangan terkini pantas menjadi diskursus untuk perbaikan sistem hukum di Indonesia.

Bacaan 5 Menit
Sutan Sorik. Foto: Istimewa
Sutan Sorik. Foto: Istimewa

Di seluruh penjuru dunia ini ada berbagai sistem hukum yang berlaku. Setiap negara memiliki sistem hukum sendiri. Akan tetapi dari berbagai literatur yang mengkaji ilmu hukum, biasanya menyebutkan setidaknya ada dua sistem hukum yang paling dominan, yaitu sistem civil law dan common law, meski masih banyak sistem hukum yang lain (Friedman & Hayden, 2017, 17). Negara Indonesia menganut sistem hukum civil law, sebagai peninggalan dari kolonial Belanda.

Jika dilihat dari segi teori ilmu hukum, Indonesia sebagai civil law maka secara otomatis menganut aliran hukum positivis. Oleh karena itu, sumber utama hukum di Indonesia adalah peraturan perundang-undangan/hukum normatif. Menurut Fernando Manullang dalam disertasinya, pengajaran ilmu hukum yang terlalu positivistis perlu dikurangi porsinya di Indonesia. Hal ini didasarkan pada realita penegakan hukum yang ada, sebagaimana terlihat dalam proses peradilan yang tidak merefleksikan rasa keadilan banyak orang. Memang harus diakui bahwa kepastian hukum akan tercapai, "tetapi kemanfaatan" dan keadilan biasanya sering kali terabaikan (Manullang, 2014, 157-158).

Pendapat Manullang sepertinya masih relevan sampai saat ini, berdasarkan pada hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait penegakan hukum di Indonesia yang dilakukan dari tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 2021. Dari skala 100, sebanyak 41,2 persen responden menilai penegakan hukum di Indonesia buruk atau sangat buruk, lalu 30,1 persen menilai sedang, sisanya 3,2 persen tidak menjawab, dan hanya 25,6 persen yang menilai baik/sangat baik (Prastiwi, 2021). Demikian juga dengan kepercayaan publik terhadap DPR (pembentuk UU), dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) DPR masih dalam posisi dua terbawah yang dipercayai publik saat ini (Wibowo, 2021).

Dari data di atas menunjukkan bahwa masih perlu adanya pembaharuan dan pembangunan hukum di Indonesia. Secara historis gerakan pembaharuan dan pembangunan hukum sudah dimulai sejak tahun 1958 (Radhie, 1975, 3-4). Dalam pembaharuan dan pembangunan hukum menurut Radhie ada dua aspek yang harus diperhatikan, yaitu: (1) law drafting/law formulation, dan yang paling terpenting adalah, (2) hukum yang dibuat adalah hukum yang baik, dalam artian dapat merespon terhadap kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat yang senantiasa berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Untuk merespon pembaharuan dan pembangunan hukum tersebut menurut hemat Penulis salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan melihat kembali teori hukum kodrat dan perkembangan mutakhirnya.

Secara etimologi hukum kodrat terdiri dari kata hukum dan kodrat. Hukum bisa diartikan dengan patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu (KBBI, 2021). Kodrat adalah kekuasaan (Tuhan) atau bisa juga diartikan dengan hukum alam (KBBI, 2021). Jika dilihat dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary, natural law (hukum kodrat) adalah seperangkat prinsip moral yang menjadi dasar perilaku manusia dan tidak boleh dilanggar oleh hukum positif yang dibuat oleh manusia "penguasa" (Ratnapala, 2017).

Hukum kodrat memiliki sejarah yang panjang dan berkelanjutan, tokoh-tokoh filsafat hukum aliran ini pun sudah banyak. Sejak peradaban bangsa Yunani kuno, setidaknya dari zaman Heraclitus of Efesus (535 - 475 SM) aliran pemikiran ini sudah ada. Dapat terlihat dari tulisan-tulisan Augustine, Aquinas and the Scholastics pada abad pertengahan terkait paham Judeo-Christian. Kemudian hukum kodrat menjadi bahan diskursus pemikiran bagi Grotius, Hobbes, Locke, Pufendorf dan tokoh lainnya sebagai penggerak filsafat hukum modern (Ratnapala, 2017).

Pada zaman Yunani kuno pemikiran hukum kodrat berperan secara luas, baik dalam bidang etika, politik, maupun hukum. Akan tetapi di abad-19 hukum kodrat kurang dihormati, sehingga sempat tenggelam. Namun setelah berakhirnya perang dunia kedua di masa abad-20, minat terhadap hukum kodrat kembali mencuat. Meski bagi Finnis pembahasan terkait tentang kebangkitan dan penurunan hukum kodrat adalah kurang tepat, menurutnya hukum kodrat tidak memiliki sejarah (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001).

Pada awal munculnya hukum kodrat masih bersifat religius atau supernatural (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001). Kemudian di masa abad pertengahan kebenaran dalam hukum kodrat disandarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab suci, seperti yang terdapat dalam pemikiran Thomas Aquinas (Aquinas, 1985 & Putro, 2011). Namun pada masa filsafat modern saat ini, hukum kodrat tidak lagi bersandarkan pada kitab suci, tapi lebih kepada pendekatan akal budi (rasio) (Tamanaha, Brian Z., 2001) yang berperan sebagai pembenaran moral dalam ideologi politik, hukum, maupun sistem sosial dan ekonomi yang dianut suatu negara (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001). Finnis berpendapat bahwa melalui rasio memungkinkan manusia untuk memahami dan menyimpulkan apa yang benar dan salah di masyarakat (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001).

Meski banyak perbedaan tentang pandangan isi prinsip-prinsip hukum kodrat, namun esensi hukum kodrat pada dasarnya tentang kayakinan bahwa ada moral yang berlaku secara universal (Freeman, M. D. A., & Lloyd, . H. D. L., 2001) tanpa harus dibuat dalam ketentuan/peraturan tertentu oleh penguasa. Oleh karena itu, teori hukum kodrat dapat dikatakan sebagai kontrol transendental terhadap kemungkinan para penguasa untuk memanipulasi hukum atau berbuat tidak adil (Putro, 2011).

Hukum kodrat bersifat abstrak dan sulit dipraktikkan, bisa saja dianggap sebagai kelemahan teori ini, ditandai dengan kritikan dari filsuf hukum lainnya, terutama filsuf aliran pemikiran Utilitarian Positivism, seperti Jeremy Bentham. Hukum kodrat dianggap gagal dalam memisahkan antara hukum positif dan hukum moral, nilai-nilai hukum kodrat tidak jelas dan tidak memiliki kepastian (Ratnapala, 2017).

Perkembangan pemikiran terkini mengenai hukum kodrat bisa dilihat dari teori moralitas yang diajukan Fuller (1997) dan Dworkin (1998). Fuller dan Dworkin bukan ahli teori hukum kodrat dalam pengertian tradisional, akan tetapi mereka melakukan pendekatan yang lebih kontemporer. Fuller dan Dworkin mengajukan teori hukum kodrat yang menegaskan adanya hubungan penting antara hukum dan moral. Fuller berpandangan pada akhirnya kewibawaan hukum harus mengacu pada sikap moral masyarakat. Artinya jika hukum mau berlaku efektif, maka sistem hukum minimal harus memiliki kandungan hukum kodrat di dalamnya.

Senada dengan itu, Dworkin seperti banyak ahli hukum kodrat lainnya menolak gagasan hanya kekuasaan saja yang dapat membenarkan hukum. Lebih jauh Dworkin berpandangan dalam tradisi hukum Anglo-American menuntut adanya integritas hukum. Di mana integritas hukum yang dimaksud tersebut tergantung pada "pembuat undang-undang dan hakim". Jika mereka membuat undang-undang atau mengadili secara sewenang-wenang, menurut Dworkin hukum kehilangan integritas dan otoritas moralnya (Ratnapala, 2017).

Dari argumentasi-argumentasi di atas menurut hemat Penulis, pandangan aliran hukum kodrat terutama perkembangan terkini yang disampaikan Fuller dan Dwarkin sangatlah pantas menjadi diskursus untuk perbaikan sistem hukum di Indonesia. Mengingat dari data survei SMRC dan LSI di atas, penilaian masyarakat baik citra penegakan hukum maupun badan legislatif masih cukup memprihatinkan. Dengan harapan ke depan tidak hanya kepastian yang diutamakan, tetapi juga perlu melihat nilai moralitas yang ada dalam masyarakat, keadilan yang tidak berpihak, dan integritas dari hukum itu sendiri.

*)Sutan Sorik, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UI/Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRPolitik BRIN).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait