Disabilitas Bukan Batas, Ini Cerita Yasmin si Yuris Muda Indonesia
Utama

Disabilitas Bukan Batas, Ini Cerita Yasmin si Yuris Muda Indonesia

Punya mimpi menjadi notaris. Ingin untuk menyuarakan hak-hak difabel.

Ferinda K Fachri
Bacaan 6 Menit
Yasmin (berjaket almamater biru) bersama Wakil Dekan FH Universitas Esa Unggul, Rita Alfiana saat diwawancara Hukumonline, Jumat (1/3/2024). Foto: FER
Yasmin (berjaket almamater biru) bersama Wakil Dekan FH Universitas Esa Unggul, Rita Alfiana saat diwawancara Hukumonline, Jumat (1/3/2024). Foto: FER

Yasmin Azzahra Rahman duduk di kursi roda dengan mengenakan jaket almamater warna biru. Ia tersenyum sepanjang wawancara. Sejumlah buku karyanya ditunjukkan kepada reporter Hukumonline. Yasmin sudah menulis dan menerbitkan karya tulis buku sejak masih kecil saat mengikuti ayahnya bertugas di Belanda. Beberapa di antara karyanya adalah serial berjudul From Holland with Love, My Story From Holland, dan Kisah Sang Pelukis. Yasmin adalah penyandang disabilitas dengan cerebral palsy atau lumpuh otak yang memengaruhi gerakan dan koordinasi otot tubuh.

“Sebenarnya dulu sempat pengen (kuliah) sastra, karena saya kan penulis. Tapi saya pikir ‘ah kalau menulis bisa belajar sendiri’. Sedangkan kalau hukum kan benar-benar belajar (lagi dari awal). Akan tetapi, (sampai sekarang) tetap saya mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan menulis,” ungkap Yasmin ketika dijumpai Hukumonline di Auditorium Universitas Esa Unggul, Jumat (1/3/2024).

Baca juga:

Hukumonline.com

Yasmin menunjukkan koleksi buku karyanya yang diterbitkan. Foto: FER

Alih-alih melanjutkan pendidikannya di bidang sastra dengan bekal kepiawaian menulis, Yasmin memilih untuk mengenyam pendidikan tinggi hukum. Usut punya usut, alasannya tidak terlepas dari keinginan hati kecilnya untuk menyuarakan hak-hak difabel.

Motivasi Yasmin memilih jurusan Ilmu Hukum sudah hadir sejak dia masih pelajar di Sekolah Menengah Atas. Ia sengaja mengambil kelas jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan keyakinan mantap untuk kelak menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum. Ada satu impian yang memberikannya dorongan terbesar kala itu. Yasmin ingin berprofesi menjadi seorang notaris.

Cita-cita itu semakin kuat dalam diri Yasmin ketika gadis kelahiran 1999 itu mulai menjalani pendidikan tinggi hukum di Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (FH UEU). Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum ternyata menjadi salah satu pelajaran yang amat digemari olehnya. Alasannya, materi kuliah ini membuka jendela baru dalam memahami hukum secara umum. 

Perempuan kelahiran Jakarta itu mengakui kecintaannya dalam mempelajari hukum perdata alih-alih hukum pidana. Berbagai kuliah hukum perdata yang diikuti Yasmin memicu rasa penasarannya lebih dalam. Ia merasakan kesenangan tersendiri saat mengkaji hukum perdata. Ada berbagai kasus yang acapkali tidak mudah ditebak bagaimana dan apa akhir penyelesaiannya. Namun, akhirnya Yasmin memilih topik hukum tata negara untuk penulisan skripsi sebagai tugas akhir kelulusan.

Hak Difabel dalam Pemilu

Pendek cerita, kerja keras Yasmin berbuah manis. Skripsi karyanya yang mengusung topik difabel dalam pemilihan umum (pemilu) menuai pujian dari para penguji. Pemilu 2024 tahun ini menjadi kali kedua baginya menggunakan hak pilih dalam pemilu. Yasmin sudah punya pengalaman yang ia rasakan sendiri untuk memperkaya penelitiannya.

Yasmin menyoroti sejumlah aspek pemilu dalam kaitannya dengan difabel. Memperoleh nilai “A” dari hasil uji skripsinya, Yasmin resmi menyandang gelar Sarjana Hukum sejak 8 Maret 2024.

“Tentang Pemilu untuk kaum disabilitas dan tentang apa tantangannya. Juga apa yang dihadapi kaum difabel dalam pemilu ke depan. Karena tahun pemilu, jadi kupikir ‘oh iya ini saja’,” ujarnya menceritakan proses mendapatkan inspirasi topik skripsi yang dipilih.

Lebih lanjut, skripsinya itu mengupas peluang dan tantangan difabel dalam menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Ada sejumlah catatan kritis yang menjadi perhatian Yasmin dalam skripsinya. Misalnya perihal negara belum mengakomodasi pemenuhan unsur “luber” (langsung, umum, bebas, rahasia) bagi kalangan pemilih difabel. Ini mengingat sejumlah difabel harus ditemani dalam proses penggunaan haknya di bilik suara. Cara ini membuat unsur rahasia yang seharusnya dijunjung belum terealisasi dengan baik bagi pemilih difabel.

Hukumonline.com

Kiri ke kanan: Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum FH UEU Dr. Farida Nurun Nazah, Yasmin, Wakil Dekan FH UEU Rita Alfiana, M.Kn., dan Ketua Pusat Studi FH UEU Dr. Annisa Fitria. Foto: FER

Yasmin menitipkan pesan kepada semua difabel untuk terus bersemangat dalam mengejar mimpi. “Kita bisa kok (meraih cita-cita)! Sedangkan untuk nondifabel, ayo dong perlakukan kami selayaknya teman-teman kalian. Ajak main, ajak diskusi, kami terbuka kok untuk itu. Esa Unggul (selama ini pun sudah) banyak menerima anak-anak difabel,” ungkapnya. Yasmin mengatakan punya teman sesama difabel di fakultas lain UEU.

Dukungan Kampus dan Keluarga

Wakil Dekan FH UEU, Rita Alfiana, mengamini pernyataan Yasmin. UEU memang belum menyatakan diri termasuk dalam klasifikasi kampus inklusi. Namun, pihak universitas membuka kesempatan yang sama untuk menerima mahasiswa difabel agar bisa mengenyam pendidikan tinggi. 

Calon mahasiswa difabel tetap diharuskan untuk mengikuti proses ujian masuk seperti biasa. Selanjutnya, keluarga calon mahasiswa difabel akan dipertemukan dengan pihak fakultas untuk berkoordinasi dalam menunjang pembelajaran mahasiswa yang bersangkutan. Seperti Yasmin contohnya, ada kesepakatan lebih dahulu dengan pihak keluarganya untuk bersedia menghadirkan pendamping. Peran pendamping ini antara lain mendukung Yasmin selama masa perkuliahan seperti menuntun kursi rodanya.

“Pada saat itu semua sudah oke (keluarga bersedia menyediakan pendamping atau fasilitas tertentu dalam mendukung mahasiswa difabel), barulah kami bisa terima,” ungkap Rita. Ia menceritakan UEU pernah memiki dua mahasiswa disabilitas pendengaran. Mereka adalah penerima beasiswa dari organisasi nirlaba dari Amerika Serikat bernama DEAF Legal Advocacy Worldwide. Organisasi ini memiliki kegiatan untuk membantu mahasiswa difabel berkuliah mulai dari dibayarkan uang kuliah hingga disediakan penerjemah bahasa isyarat.

Keduanya akhirnya berhasil lulus dari UEU dengan menyandang predikat mahasiswa berprestasi. Salah satu di antaranya adalah Andi Kasri Unru yang sempat diberitakan Hukumonline sebagai advokat difabel pertama di Dewi Djalal & Partners (DDP). Saat ini pun di FH UEU masih ada mahasiswa difabel aktif yang menyandang autism spectrum disorder (ASD) dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).

Menurut Rita, para mahasiswa difabel tetap dapat menjalankan tugas studi dan perkuliahan dengan sangat baik. Justru mereka menunjukkan kelihaiannya dalam menuntut ilmu menggunakan cara masing-masing, bahkan dengan semangat yang tinggi. “Belajar adalah hak semua anak. Mereka (mahasiswa difabel) bisa dan mampu, nilai mereka itu bagus-bagus. Jadi terlihat sekali niatnya (untuk belajar). Makanya sayang kalau tidak diakomodasi (perguruan tinggi),” katanya.

Hukumonline.com

Wakil Dekan FH UEU, Rita Alfiana dan Yasmin menunjukkan sertifikat penghargaan yang diraih Yasmin. Foto: FER

Hingga tahun 2022, Hukumonline mencatat belum ada kebijakan khusus dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mengelola pendidikan inklusif di jenjang pendidikan tinggi. Padahal, sudah terbit PP No.13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas tahun 2020 yang mulai menyebut pemenuhan kebutuhan khusus mahasiswa penyandang disabilitas.

Perlu diingat isi Pasal 10 huruf a UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) bahwa, “Hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a.mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus”. Penjelasan pasal ini menguraikan “pendidikan secara inklusif” adalah pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi.

Hanya ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Peraturan Menteri ini terbit sebelum UU Penyandang Disabilitas disahkan dan berlaku pada 15 April 2016. Isinya hanya mengatur soal penyediaan fasilitas sekolah mulai tingkat dasar hingga atas untuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Fasilitas sekolah penyelanggara pendidikan inklusif itu wajib menerima peserta didik penyandang disabilitas. Namun, hingga terbit Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif edisi tahun 2022 lalu, tidak ada pembaruan yang menjelaskan soal pendidikan inklusif di perguruan tinggi.

Baru pada tahun 2023 lalu terbit Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Isinya antara lain kewajiban bagi setiap perguruan tinggi untuk memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.

Hukumonline.comYasmin menghadiri kelas bersama mahasiswa UEU lainnya. Foto: FER

Jelang sewindu UU Penyandang Disabilitas, tentu kehadiran regulasi pendidikan inklusif di perguruan tinggi akan semakin menyempurnakan komitmen Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak difabel. Betapa pun demikian, penerimaan FH UEU mengakomodasi potensi Yasmin adalah salah satu contoh penting bahwa ketiadaan regulasi bisa diatasi dengan diskresi pihak kampus. Kehadiran regulasi lebih jelas dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentu akan lebih baik lagi agar keterbukaan akses ke pendidikan tinggi bagi difabel Indonesia terjamin.

Yasmin hanyalah salah satu dari banyak mahasiswa difabel yang menggantungkan mimpinya untuk bisa menjadi profesional hukum. Puan yang berkepribadian ceria, ramah, dan amat bersahabat itu tidak menjadikan cerebral palsy pada dirinya sebagai hambatan. Ia terus mengejar mimpinya. Perjalanan hidupnya terus diisi dengan prestasi-prestasi yang membanggakan. 

Duta Literasi Anak pada tahun 2017 silam itu kini sudah menuntaskan pendidikan tingginya dengan sukses bergelar Sarjana Hukum. Benar rasanya bahwa tidak ada batasan yang benar-benar jadi penghalang selain isi pikiran diri sendiri.

Tags:

Berita Terkait