Charles Simabura, Kritikus dari Andalas tentang Keliaran Kuasa Menteri Jokowi
Terbaru

Charles Simabura, Kritikus dari Andalas tentang Keliaran Kuasa Menteri Jokowi

Atribusi kewenangan Menteri membentuk Peraturan Menteri oleh UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi celah. Cara kerja Menteri-Menteri kabinet Jokowi menambah parah masalah dalam persoalan over regulasi di Indonesia.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit

Belakangan muncul mekanisme harmonisasi lewat Peraturan Menteri Hukum dan HAM, tapi hanya di level Direktur saja di Kementerian. Belakangan muncul Peraturan Presiden No.68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga bahwa harus ada persetujuan Presiden untuk Peraturan Menteri mengkonfirmasi kenyataan selama ini.

Perpres itu didahului Surat Edaran Sekretariat Kabinet Nomor B-0144/Seskab/Polhukam/04/2020 yang isinya serupa sebagai cikal-bakal. Tapi, karena tidak dianggap akhirnya muncul Perpres.

Apakah Perpres itu berhasil menyelesaikan masalah?

Tidak sama sekali karena Menteri tetap produktif membuat Peraturan Menteri. Aneh bahwa Presiden harus menyetujui satu per satu Peraturan Menteri, harusnya dia yang buat Peraturan Presiden untuk ditindaklanjuti. Usulan saya harus dihentikan dulu pembuatan Peraturan Menteri yang atas dasar kewenangan atribusi.

Turunan regulasi di level Peraturan Menteri ini yang membuat over-regulasi. Kementerian juga harusnya saling koordinasi karena tidak mungkin ada urusan tunggal tanpa beririsan dengan Kementerian lain.

Apakah masalah ini tidak bisa mengandalkan kekuatan kepemimpinan Presiden untuk mengontrol Menteri-Menteri? Bukankah acuan normatif bahwa Peraturan Menteri bisa dibentuk berdasarkan kewenangan secara atribusi sudah sejak era SBY?

Ada kesan di era Jokowi itu tidak berhasil atau memang sengaja membiarkan. Akhirnya, Pak Jokowi memang tidak sungguh memikirkan regulasi, dia urus aksi bagi-bagi sembako. Regulasi diserahkan jadi urusan Menteri. Mereka mungkin sengaja berpikir instan, cukup dengan Peraturan Menteri untuk selesaikan semuanya. Negara kita sistemnya Presidensial, memang semuanya harus diatur dari Presiden.

Masalah lain, Peraturan Menteri itu harusnya sudah sangat teknis administratif. Isinya sudah detil soal teknis. Praktiknya saat ini banyak Peraturan Menteri yang isinya pun pengulangan dari isi Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, bahkan Undang-Undang. Masih menyalin soal ketentuan umum yang sama.

Tags:

Berita Terkait