​​​​​​​Belajar dari Pengalaman Masa Lalu
Fokus

​​​​​​​Belajar dari Pengalaman Masa Lalu

KPK menjadi lembaga antikorupsi paling lama bertahan dalam sejarah Indonesia. Upaya untuk memperlemahnya datang dari banyak lini.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Orang-orang yang terpilih menjadi komisioner selama ini juga orang-orang yang dipercaya mampu mengemban amanah. Pimpinan generasi pertama (2003-2007) adalah Taufiqurrachman Ruki, Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan Panggabean, Amien Sunaryadi, dan Sjahruddin Rasul. Periode 2007-2011, pimpinan KPK diisi oleh Antasari Azhar, Busyro Muqoddas, Bibit Samad Riyanto, Chandra M Hamzah, M. Jasin, dan Haryono Umar.

 

Pada periode ini, sempat ada pelaksana tugas yakni Tumpak H Panggabean, Mas Achmad Santosa, dan Waluyo. Pelaksana tugas ini terkait dengan masalah yang dihadapi pimpinan KPK. Antasari Azhar menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan; sementara Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dibidik kepolisian. Upaya membidik Chandra dan Bibit adalah bagian dari sejarah KPK yang melahirkan gerakan perlawanan dari masyarakat terhadap upaya kriminalisasi kedua komisioner ini.

 

Langkah senada terjadi lagi pada periode kepemimpinan berikutnya, 2011-2015. Ketua KPK Abraham Samad, dan wakilnya Bambang Widjojanto ditetapkan polisi sebagai tersangka untuk tindak pidana umum yang berbeda. Pimpinan lain adalah Zulkarnain, Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Pradja. Pemerintah kembali mengangkat pelaksana tugas untuk menggantikan Samad dan Bambang. Mereka adalah Taufiqurrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP. Sejumlah pegiat masyarakat sipil percaya, penetapan tersangka Samad dan Bambang adalah bagian dari upaya pelemahan KPK. Drama pengepungan gedung KPK oleh aparat kepolisian untuk menangkap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, menghebohkan publik. Dukungan publik ke KPK ditunjukkan dengan berkumpulnya ratusan warga membentengi gedung KPK.

 

Periode berikutnya (2015-2019) kepemimpinan KPK diisi oleh Agus Rahardjo, Basaria Pandjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif. Pada era mereka, upaya melemahkan KPK terus terjadi dengan beragam cara. Novel Baswedan diserang orang tak dikenal, dan pelaku penyerangannya tak terungkap hingga kini. Intimidasi terhadap penyidik lain juga dilakukan. Upaya pembusukan dari dalam dilakukan dengan beragam cara. Serangan juga datang dari beberapa anggota DPR di Senayan. Puncaknya, adalah kesepakatan DPR dan Pemerintah untuk merevisi UU KPK dengan cara mempreteli sejumlah kewenangan dan status pimpinan dan penyidik KPK.

 

Baca:

 

Kini, nasib KPK akan banyak bergantung pada aktor-aktor pengambil kebijakan, terutama mereka yang sudah dipilih DPR menjadi komisioner KPK periode (2019-2023), yakni Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pamolango, dan Nurul Ghufron.

 

Mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto, dalam bukunya ‘Berkelahi Melawan Korupsi Tunaikan Janji, Wakafkan Diri’ (2016) menulis begini: “Di negara hukum yang bernama Republik Indonesia telah terjadi proses ‘pembunuhan’ berulangkali yang korbannya adalah lembaga antikorupsi”. Sejarah telah membuktikan ucapan Bambang.

 

Menurut dia, ada lima pelajaran yang dapat dipetik dari bubarnya lembaga-lembaga terdahulu. Pertama, lembaga antikorupsi dibuat tidak berdaya oleh pihak yang bagian dari unsur kekuasaan itu sendiri. Sikap koruptif sudah berkembang di dalam kekuasaan. Kedua, lembaga antikorupsi tidak diberikan kewenangan yang solid, utuh dan memadai untuk dapat menjalankan tugas secara optimal. Ketiga, tokoh-tokoh baik itu dibiarkan bekerja tanpa ditopang sarana dan prasarana yang memadai. Keempat, lembaga antikorupsi tidak memiliki independensi. Kelima, belum ada pengaturan tentang konflik kepentingan karena pemegang kekuasaannya cenderung melindungi kejahatannya.

 

Pembubaran lembaga-lembaga antikorupsi diduga karena ada kepentingan kekuasaan yang akan dilindungi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menghubungkan kerja KPK melakukan OTT dengan iklim investasi. Meskipun kemudian ia menarik ucapannya, pernyataan Moeldoko mencerminkan pandangan lain bahwa KPK berpotensi mengganggu kepentingan pemerintahan. Mungkin juga kepentingan anggota legislatif, pengusaha, dan kepala daerah. Sesungguhnya, pertarungan dua pandangan yang saling berseberangan hanya akan menguntungkan pelaku tindak pidana korupsi.

Tags:

Berita Terkait