Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III)
Kolom

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian III)

Tulisan in merupakan sambungan dua tulisan terdahulu. Membahas antara lain tentang batas akhir prestasi, sifat somasi, dan pandangan hukum mengenai prestasi dan wanprestasi.

Bacaan 2 Menit

 

Kalau somasi – yang tidak dipenuhi -- menimbulkan keadaan lalai/wanprestasi – sebagaimana pendapat yang mengatakan somasi bersifat konstitutif, maka somasi sudah bisa diberikan sebelum tagihan matang untuk ditagih (HR 29 Januari 1915, NJ. 1915, 485; Losecaat Vemeer, hal. 171). Sudah tentu kepada debitur harus diberikan tenggang waktu yang patut, agar debitur bisa memenuhi permintaan somasi kreditur. Dengan itu berarti, bahwa dalam perjanjian yang mengandung ketentuan waktu, maka tenggang waktu somasi paling tidak harus mencapai waktu yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Kesimpulannya, gugatan dan somasi bisa dilancarkan berbarengan. Dalam gugatan – yang diterima sebagai suatu somasi– kreditur memperingatkan debitur untuk berprestasi paling lambat pada suatu waktu tertentu dan sekaligus, kalau tidak dipenuhi, menuntutnya di muka Hakim.

 

Permasalahan berikutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW perlu didahului dengan suatu somasi? Pasal 1267 BW mengatakan, bahwa: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian kerugian“.

 

Untuk menuntut pemenuhan perikatan, kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Hak untuk menuntut pemenuhan sudah melekat pada perjanjian bersangkutan. (HgH Batavia 24 September 1903, dimuat dalam Duparc hal. 63; HR 15 Mei 1964, NJ. 1964, 414).

 

Namun hak untuk menuntut ganti rugi baru ada setelah debitur dalam keadaan lalai (wanprestasi  Ps. 1243 BW). Dengan berpegang kepada redaksi Pasal 1267 BW dan pendapat, bahwa somasi bersifat konstatatif seperti tersebut di atas, maka kreditur, untuk menuntut ganti rugi –baik ganti rugi itu dikaitkan dengan tuntutan pemenuhan ataupun pembatalan perikatan– mestinya tidak memerlukan somasi lebih dahulu, karena debitur sebenarnya sebelum ada somasi sudah berada dalam keadaan wanprestasi, karena somasi hanya mengkonstatir saja keadaan wanprestasi yang sudah ada.

 

Sebaliknya, kalau kita ikuti teori yang mengatakan, bahwa somasi bersifat konstitutif  untuk adanya keadaan wanprestasi, maka kreditur untuk melaksanakan haknya berdasarkan Pasal 1267 BW, harus mensomir debitur lebih dahulu.

 

Permasalahan selanjutnya adalah, apakah untuk penerapan Pasal 1267 BW –yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya prestasi-- memang mensyaratkan somasi?

 

Pasal 1267 BW berada dalam suatu rangkaian dengan Pasal 1265 dan  Pasal 1266 BW. Pasal 1265 BW berbicara tentang syarat batal, yang apabila dipenuhi, maka perikatan menjadi batal. Pasal 1266 ayat (1) BW mengatakan, bahwa dalam perjanjian timbal balik, syarat batal dianggap selalu ada di dalamnya. Namun demikian, apabila syarat batal itu terpenuhi, perikatan tidak batal dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan pembatalannya melalui seorang Hakim. Jadi, untuk pembatalan perikatan, dimana syarat batal terpenuhi, maka tidak diperlukan adanya somasi. Dengan demikian, kata “ tak dipenuhinya perikatan “ dalam Pasal 1267 BW adalah sama dengan peristiwa dipenuhinya syarat batal, sehingga untuk tuntutan pembatalan tidak diperlukan somasi.

Tags: