Beberapa Catatan Mengenai Tindak Pidana Makar dalam KUHP
Kolom

Beberapa Catatan Mengenai Tindak Pidana Makar dalam KUHP

​​​​​​​Penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar agar pasal ini tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi salah satu semangat UUD 1945.

Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, ancaman pemenggalan kepala presiden juga berpotensi melanggar pasal 104 KUHP dengan ancaman tertinggi pidana mati. Keyakinan ini juga diperkuat dengan pemahaman bahwa pada prinsipnya, percobaan merupakan tindak pidana yang belum selesai sehingga percobaan adalah tindak pidana dalam bentuk khusus karena pelakunya sudah dapat dipidana meskipun tindak pidananya tidak/belum selesai.

 

Karena ketentuan pasal 87 KUHP tentang tindak pidana makar mengacu pada pasal 53 ayat 1 KUHP tentang percobaan, tindak pidana makar juga dianggap telah terjadi (voltooid delict) sebelum akibat tergulingnya pemerintah atau terbunuhnya atau hilangnya kemampuan Presiden memerintah benar-benar terjadi. Lagi-lagi untuk membuktikan bahwa unsur permulaan pelaksanaan ini sudah terpenuhi, bukti-bukti lain yang menunjukkan misalnya adanya perencanaan atau konspirasi harus dapat dibuktikan.

 

Pasal makar versus kebebasan berpendapat

Prof. Sudarto menyatakan bahwa sejatinya hukum pidana hadir untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya. Kepentingan hukum ini meliputi kepentingan hukum individu, kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum negara.

 

Hal ini sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 7/PUU-XV/2017 dalam uji material yang dilakukan terhadap pasal 87, 104, 106, 107, 139A, 139B, dan 140 KUHP yang dalam salah satu pertimbangannya menyatakan pasal makar tetap diperlukan untuk melindungi kepentingan hukum negara.

 

Namun demikian MK juga mengingatkan bahwa penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar agar pasal ini tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi salah satu semangat Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks inilah hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk mengkaitkan pelanggaran terhadap suatu peraturan dengan hukuman tertentu sekaligus untuk menghukum harus sungguh-sungguh didasarkan pada hukum pidana dalam arti objektif.

 

Sebagai penutup, ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu dan proses penyelenggaraannya merupakan suatu hal yang wajar. Namun hendaknya ketidakpuasan tersebut dinyatakan melalui mekanisme yang konstitusional. Dalam hal ini hukum telah memberikan sarana berupa gugatan ke MK.

 

*)Nefa Claudia Meliala adalah Pengajar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait