Beberapa Catatan Mengenai Tindak Pidana Makar dalam KUHP
Kolom

Beberapa Catatan Mengenai Tindak Pidana Makar dalam KUHP

​​​​​​​Penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan makar agar pasal ini tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi salah satu semangat UUD 1945.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua pasal ini (pasal 87 dan pasal 53 ayat (1) KUHP) memang mengatur dua hal yang substansinya berbeda. Namun demikian, unsur-unsur pasal 87 KUHP (unsur niat dan unsur permulaan pelaksanaan) merupakan unsur-unsur yang juga terdapat dalam pasal 53 ayat 1 KUHP. Dengan demikian, doktrin dalam ilmu hukum pidana yang menjelaskan unsur niat dan unsur permulaan pelaksanaan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP juga berlaku bagi pasal 87 KUHP sebagaimana ditegaskan dalam pasal 87 KUHP itu sendiri.

 

Perbedaan mendasar antara kedua pasal ini adalah bahwa dalam pasal 53 ayat (1) KUHP tentang percobaan (poging) harus ada niat/maksud (voornemen), permulaan pelaksanaan dan pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri, sementara pasal 87 KUHP tentang tindak pidana makar cukup memuhi unsur niat/maksud (voornemen) dan unsur permulaan pelaksanaan.

 

Unsur niat dan unsur permulaan pelaksanaan berdasarkan doktrin dalam ilmu hukum pidana

  1. unsur niat/maksud (voornemen)

Unsur niat/maksud (voornemen) yang dimaksud dalam rumusan pasal 87 KUHP dan pasal 53 ayat (1) KUHP adalah niat untuk melakukan kejahatan atau tindak pidana yang dalam konteks pembahasan ini adalah tindak pidana makar. Pada prinsipnya niat/maksud merupakan unsur subjektif karena menyangkut sikap batin seseorang sehingga pembuktian adanya niat/maksud ini harus dinormatifkan atau diobjektifkan.

 

Pembuktian unsur ini pada dasarnya sama dengan pembuktian kesengajaan (opzet/dolus) di mana harus dibuktikan bahwa pelaku percobaan mengetahui dan menghendaki baik kejahatan maupun akibatnya (willen en wetten). Apa yang juga perlu diingat adalah bahwa percobaan (poging) dalam ketentuan pasal 53 ayat 1 KUHP yang dirujuk oleh pasal 87 KUHP hanya bisa dilakukan terhadap delik yang disyaratkan dilakukan dengan sengaja, dan tidak mungkin dilakukan terhadap delik yang disyaratkan dilakukan dengan lalai.

 

Sebagaimana dijelaskan oleh Van Hamel bahwa kelalaian diartikan sebagai situasi di mana seseorang seharusnya melakukan tindakan penghati-hatian atau penduga-dugaan namun tidak melakukannya sehingga dapat dianggap “tidak adanya kehati-hatian” atau “kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul” dalam diri orang tersebut. Logika hukumnya, tidak mungkin ada niat dalam suatu kelalaian.

 

Dalam kaitannya dengan tindak pidana makar, seseorang misalnya baru dapat dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas ketentuan pasal 107 KUHP apabila dalam proses hukum terbukti bahwa yang bersangkutan mengetahui dan menghendaki tergulingnya pemerintah. Sementara itu, agar dapat dijerat ketentuan pasal 104 KUHP, pelaku harus terbukti mengetahui dan menghendaki terbunuhnya atau hilangnya kemampuan presiden memerintah. Berbagai tayangan yang berapa waktu belakangan ini menjadi viral boleh saja dijadikan salah satu alat bukti, tapi tentunya diperlukan bukti-bukti lain untuk membuktikan terpenuhinya unsur niat ini secara objektif.

 

  1. permulaan pelaksanaan

Berdasarkan doktrin dalam ilmu hukum pidana, terdapat 2 istilah penting dalam konsep percobaan, yaitu perbuatan persiapan dan permulaan pelaksanaan. Perbuatan persiapan diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan untuk mempersiapkan tindak pidana yang akan dilakukan yang sering pula disebut sebagai permulaan pelaksanaan niat. Sementara itu, berdasarkan Memorie van Toelichting (MvT), yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang dimaksud dengan hubungan yang demikian langsung?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait