Advokat Bersih, Mungkinkah?
Kolom

Advokat Bersih, Mungkinkah?

Salah satu hambatan terbesar untuk memerangi praktik mafia hukum di Indonesia adalah miskinnya pemahaman kita terhadap para advokat. Pertanyaan lanjutan yang muncul, mengapa advokat?

Bacaan 2 Menit

 

Akan tetapi yang kita inginkan, bukan saja mereka menghindari membuat masalah dengan para advokat LBH, mereka juga seharusnya menghindari membuat masalah dengan para advokat pada umumnya. Tujuan ini hanya akan terjadi jika para advokat mau dan berkehendak kuat untuk menolak praktik-praktik suap kecil-kecilan ini dan “berani mempermasalahkan” jika terus mengalami pemerasan kecil-kecilan oleh para birokrasi peradilan. Di sinilah pentingnya peran asosiasi advokat untuk memproteksi anggotanya. Jangan sampai organisasi advokat justru membela mereka yang terlibat dalam jerat simpul mafia hukum.

 

Terlambat mereformasi diri

Kalau kita tengok dan dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang menyebut dirinya sebagai penegak hukum, hanya advokatlah yang paling terlambat untuk mereformasi dirinya. Alih-alih mereformasi diri, justru perpecahanlah yang terjadi. Organisasi advokat terpecah tak karuan.

 

Reformasi advokat mutlak diperlukan, bukan saja bagaimana mengupayakan bersatunya kembali asosiasi advokat, namun lebih substansial lagi adalah menjalankan semua mandat yang telah ada dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

Sejak kelahiran UU No. 18 Tahun 2003, diharapkan para advokat dapat menyelesaikan beberapa agenda penting advokat Indonesia. Antara lain (i) membangun profesi advokat yang kredibel dan berkualitas; dan (ii) mendorong akses atas keadilan yang seluas-luasnya yang akan diterima semua kalangan khususnya masyarakat miskin. Dengan demikian, kepada dua tujuan itulah tentunya arah reformasi advokat seharusnya kini dan ke depan dijalankan.

 

Agenda pertama untuk membangun profesi advokat yang kredibel dan berkualitas sebagian memang sudah dijalankan oleh Peradi. Misalnya, membuat sistim perekrutan advokat yang lebih ketat dimulai dengan pendidikan, ujian, sistim magang yang relatif berjalan baik. Secara normatif, Kode Etik Advokat juga sudah disahkan.

 

Namun masalah muncul ketika pengawasan tidak berjalan dengan baik dan tidak juga didukung oleh sistim dan mekanisme yang memadai. berdasarkan pasal 26 ayat (4) UU advokat, pengawasan atas pelaksanaan kode etik advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Ketentuan ini menjadikan pengawasan atas advokat hanya bersifat internal. Ia tidak mengatur mengenai pengawasan ekseternal. Hal ini juga semakin tidak memadai karena pengawasan internal ini tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengawasan itu dijalankan sebelum dibawa ke Dewan Kehormatan Advokat untuk ditindak.

 

Agenda kedua adalah mendorong access to justice. Mendorong dan memenuhi akses atas keadilan ini diwujudkan dengan kontribusi advokat terhadap pemberian pelayanan bantuan hukum cuma-cuma. Untuk pemenuhan agenda kedua ini, ironisnya, asosiasi advokat kalah tangkas dari pemerintah. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai bantuan hukum cuma-cuma melalui Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008, yang dikeluarkan pada penghujung tahun 2008 lalu. Sebagai respon lanjutannya, Peradi telah membentuk Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi. Lepas dari itu, sayangnya, hingga saat ini kita belum juga mendengar bagaimana mekanisme teknis mengimplementasikan Peraturan Pemerintah tersebut.  

Tags: