8 Catatan Komnas HAM terhadap Kebijakan Penanganan Covid-19
Berita

8 Catatan Komnas HAM terhadap Kebijakan Penanganan Covid-19

Komnas HAM merekomendasikan Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tata kelola penanggulangan pandemi Covid-19.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Kedua, ekonomi sebagai panglima. Anam mencatat pada masa PSBB pemerintah beberapa kali membuat pengecualian terkait pembatasan kegiatan dengan dalih menjaga perekonomian tetap berjalan. Tapi kebijakan itu terkesan diskriminatif. Misalnya SE Kemenperin No.7 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Industri dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.

Kemudian SE Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 No.4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, yang intinya mengatur pengecualian atas mobilitas orang keluar/masuk wilayah batas negara dan/atau wilayah untuk fungsi ekonomi penting. Belum usai fase “kedaruratan kesehatan”, pemerintah malah melonggarkan PSBB dengan istilah “kenormalan baru.”

“Dalam situasi kedaruratan kesehatan, prioritas utama adalah melindungi hak atas kesehatan dan hak untuk hidup. Dengan mengutamakan kebijakan kesehatan publik yang kuat justru akan menjaga agar sistem ekonomi tidak semakin terpuruk,” kata Anam.

Ketiga, birokratisasi pandemi. Anam mengatakan lembaganya menyoroti mekanisme pengajuan dan penerapan PSBB yang birokratis dan berbelit. Ini menunjukan penanggulangan pandemi tidak beradaptasi dengan karakter kondisi kedaruratan dan eskalasi penyebaran Covid-19 yang eksponensial.

Keempat, pelayanan kesehatan yang diskriminatif. Anam menilai diskriminasi atas pelayanan kesehatan terjadi antara lain terkait akses, ketersediaan, dan kualitas. Soal akses, Komnas HAM menerima pengaduan korban HR di Papua yang meninggal karena tidak mendapat pelayanan kesehatan di Kota Jayapura, korban R berusia 4 tahun mengalami Anemia Aplastik, kondisinya memburuk diduga tidak mendapat akses layanan kesehatan yang memadai.

“Ketersediaan rasio tes Covid-19 masih terkonsentrasi di Jakarta dan daerah lain masih rendah. Begitu pula RS rujukan Covid-19 kebanyakan ada di Jawa.”

Kelima, kepatuhan masyarakat dan inkonsistensi kebijakan. Menurut Anam, tingkat kepatuhan masyarakat cukup baik dan dapat dilihat dari tingkat mobilitas yang turun. Sayangnya, kepatuhan masyarakat yang baik ini tidak dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang konsisten. Misalnya, awal Juni 2020 pemerintah melakukan pelonggaran PSBB, sehingga membuat masyarakat kembali beraktivitas di luar yang berpotensi membahayakan jiwa dan keselamatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait