3 Sebab MK Tolak Permohonan Sengketa Pilpres 2024
Melek Pemilu 2024

3 Sebab MK Tolak Permohonan Sengketa Pilpres 2024

Mulai dari hukum acara, paradigma hakim, dan permintaan pemohon terlalu tinggi (high call).

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Sekalipun 3 hakim konstitusi yakni Prof Saldi Isra, Prof Enny Nurbaningsih, dan Prof Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda yang intinya menegaskan terjadi kecurangan pemilu secara TSM tapi putusan akhir menunjukan MK tak lebih dari ‘Mahkamah Kekuasaan.’ Cenderung melegitimasi kepentingan kekuasaan dan dinasti politik keluarga.

Isnur menyebut 3 alasan yang jadi dasar. Pertama, melihat komposisi hakim konstitusi yang menjabat dan track record putusan MK dalam memutus pengujian UU bermasalah seperti UU KPK, Minerba, dan Cipta Kerja serta lainnya. Termasuk pengujian UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memaknai Pasal 169 huruf q kemudian digunakan anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Cawapres.

“YLBHI sudah menduga putusan MK dalam PHPU kali ini hanya akan berujung pada putusan yang meligitimasi praktik politik dan pemilu culas, mengabaikan prinsip demokrasi, negara hukum dan HAM,” ujar Isnur.

MK secara kelembagaan sudah kehilangan muruah dan independensinya untuk memutus perkara yang berkaitan dengan politik kepentingan pemerintah. Sejak ada intervensi melalui revisi UU MK, praktik manipulasi putusan MK terus bergulir.

Kedua, persidangan PHPU Pilpres dengan mekanisme sidang cepat (speedy trial) membatasi waktu untuk pembuktian. Sehingga menyulitkan proses pembuktian secara menyeluruh. Hakim konstitusi juga tidak maksimal mencari dan menemukan bukti materil. “Hal ini membuat persidangan sengketa pilpres tidak lebih dari sekedar formalitas  dan ‘sandiwara hukum’ untuk menghapus jejak-jejak fakta kecurangan pemilu,” ujarnya.

Ketiga, Isnur berpendapat mayoritas hakim dalam putusan menutup mata terhadap fakta material yang kasat mata seperti Presiden tidak netral sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan. Kemudian pelibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara negara di sejumlah daerah, penyaluran bantuan sosial sebagai alat pemenangan salah satu Capres-Cawapres.

Berbagai fakta hukum substansial ketidakadilan dalam proses pemilu tidak diakui dengan alasan hukum normatif positivistik, misalnya sudah diproses lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu sesuai kewenangannya seperti  Bawaslu dan DKPP. Serta beralasan tidak cukup meyakinkan adanya kecurangan dengan dalih formil karena kurang bukti.

Tags:

Berita Terkait