Wawancara Khusus dengan Dirjen HPI Kemlu, L. Amrih Jinangkung
Profil

Wawancara Khusus dengan Dirjen HPI Kemlu, L. Amrih Jinangkung

Perjanjian Internasional punya peran penting bagi Indonesia.

Aji Prasetyo
Bacaan 7 Menit
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu, L. Amrih Jinangkung. Foto: RES
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemenlu, L. Amrih Jinangkung. Foto: RES

Perjanjian Internasional merupakan salah satu elemen penting bagi Indonesia dalam berkiprah di dunia Internasional. Dilansir dari treaty.kemenlu.go.id, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam sambutannya mengatakan perjanjian internasional adalah wujud implementasi dari kerjasama antara suatu negara dengan negara mitranya. Di samping itu, perjanjian internasional juga menandakan pentingnya posisi suatu negara dalam konteks diplomasi di tingkat bilateral, regional dan multilateral.

Menurut Retno, sejak kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Indonesia telah menandatangani 6.973 perjanjian internasional dan mengimplementasikan berbagai perjanjian dengan negara dan entitas asing. Berbagai perjanjian tersebut disimpan di rumah yang disebut Treaty Room yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri.

“Kini di abad ke-21, kami di Kementerian Luar Negeri terus berupaya meningkatkan akses publik atas berbagai perjanjian di Treaty Room. Melalui pemutakhiran laman web Treaty Room ini, saya dan keluarga besar Kemlu berharap para sahabat dapat mengakses dan menemukan dengan mudah berbagai jenis perjanjian antara Indonesia dengan negara-negara mitra,” ujarnya.

Hukumonline pun berkesempatan untuk melakukan wawancara khusus dengan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (Dirjen HPI) Kementerian Luar Negeri, L. Amrih Jinangkung untuk mengetahui lebih jauh mengenai perjanjian internasional.  Berikut petikan wawancaranya;

Terkait dengan perjanjian internasional, apa prioritas Dirjen HPI?

Perjanjian internasional merupakan instrumen dalam konteks hubungan internasional. Perjanjian internasional ini juga merupakan alat. Alat untuk apa? Alat untuk mencapai kepentingan nasional. Kepentingan nasional kita apa, kemudian kita jajaki dengan negara mitra kita, lalu kita buat suatu kerangka hukum yang mewadahi kerja sama untuk mencapai kepentingan nasional itu.

Fungsi Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional itu, kita sebagai diplomat sekaligus sebagai lawyer negara. Sebagai diplomat, kita bagian dari policy makers dalam konteks polugri. Sementara sebagai lawyer, kita harus menyesuaikan kepentingan klien, dalam hal ini kementerian/lembaga, dengan kepentingan nasional. Kita yang mengawal penyusunan perjanjiannya dari awal hingga implementasinya, sehingga sejalan dengan polugri dan kepentingan nasional. Jadi kalau ditanya prioritas, prioritas kita adalah tercapainya kepentingan nasional di berbagai bidang.

Sebagian besar masyarakat masih belum memahami Perjanjian Internasional, karena dianggap tidak berkaitan langsung dengan kehidupan mereka. Lalu bagaimana cara untuk membuat masyarakat lebih aware mengenai Perjanjian Internasional?

Saya rasa tergantung substansi perjanjiannya. Kalau substansi perjanjiannya dirasa jauh sekali dari kehidupan sehari-hari, mungkin masyarakat merasa tidak ada hubungannya dengan mereka. Selain itu, bisa jadi juga karena keterbatasan informasi. Contohnya begini, sebenarnya banyak perjanjian yang berpengaruh langsung ke masyarakat, misalnya FTA (Free Trade Agreement), terakhir yang kita buat di ASEAN yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ini merupakan perjanjian FTA antara ASEAN dan dialog partners, kecuali India yang belum tanda tangan. RCEP ini adalah mega FTA dan berpengaruh langsung ke masyarakat. Melalui perjanjian ini kita diminta membuka pasar, dan di saat bersamaan kita juga minta pihak mitra membuka pasar untuk Indonesia, jadi sebenarnya untuk masyarakat umum bisa berpengaruh langsung. Hanya saja mungkin ada kekurangtahuan masyarakat, atau mungkin di pihak pemerintah kurang sosialisasi kepada masyarakat. Contoh lainnya, misalnya isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Kita sudah punya perjanjian dengan beberapa negara penerima PMI yang memberikan perlindungan kepada PMI. Namun masih belum banyak masyarakat yang aware akan hal ini, sehingga perlu bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat.  

Apakah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional masih relevan mengingat sudah berusia sekitar 12 tahun?

Masih relevan.  Undang-undang ini adalah kodifikasi dari praktik kenegaraan yang sudah dilakukan. UU mengenai Perjanjian Internasional baru ada tahun 2000, sementara RI membuat perjanjian internasional sudah semenjak republik berdiri. Mereka melakukan perjanjian itu mengikuti praktik yang terjadi di dunia internasional, kemudian UU PI ini mengkodifikasi praktik tersebut. UU ini mengambil referensi dari ketentuan mengenai perjanjian internasional yang sudah ada, khususnya Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional. Apakah masih relevan? Masih. Kemudian, di tahun 2018 ada judicial review dari Mahkamah Konstitusi, khususnya mengenai aspek ratifikasi. UU PI tahun 2000 itu lebih mengatur mengenai isu prosedural, seperti tahapan pembuatan perjanjian internasional, penerbitan surat kuasa, proses ratifikasi, dan sebagainya. Jadi saya kira akan selalu relevan. Kalau harus direvisi, ya karena sudah ada uji materi dari MK.  

Pasal 7 UU Perjanjian Internasional mengatur soal pemberian kuasa bagi penandatangan perjanjian internasional. Pada Juli lalu ada sosialisasi Permenlu nomor 8 tahun 2021, poinnya apa saja?

Surat kuasa atau Full Power merupakan suatu dokumen yang diatur dalam hukum internasional, khususnya Konvensi Wina. Surat kuasa berisi pernyataan dari Presiden atau Menteri Luar Negeri, yang memberikan kewenangan atau kuasa bagi seseorang untuk menandatangani perjanjian internasional. Kenapa harus pakai surat kuasa? Untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah wakil resmi Pemerintah/Negara untuk menandatangani perjanjian tersebut.

Di dalam praktik internasional, berdasarkan Konvensi Wina, hanya dua orang yang tidak perlu surat kuasa untuk menandatangani suatu perjanjian, yang pertama Presiden / Kepala Pemerintahan, yang kedua adalah Menteri Luar Negeri. Presiden adalah representasi suatu pemerintah, dan Menlu secara ex officio punya kewenangan untuk menjalankan hubungan luar negeri. Dua pejabat ini yang tidak perlu surat kuasa, dan hanya dua pejabat ini yang bisa mengeluarkan surat kuasa. Jadi kalau ada menteri A akan menandatangani suatu perjanjian internasional dimana para pihaknya adalah antar Pemerintah, maka ia memerlukan surat kuasa untuk dapat mengikatkan Pemerintah RI dalam suatu perjanjian.

Nah, Permenlu Nomor 8 Tahun 2021 itu adalah permenlu yang mengatur isu prosedural teknis mengenai bagaimana penerbitan surat kuasa, atau pencabutan surat kuasa dalam hal terjadi pergantian pejabat yang harus menandatangani suatu perjanjian. Surat kuasa itu hanya berlaku untuk satu kali, untuk orang yang namanya tertera disitu dan hanya berlaku untuk perjanjian yang ditulis disitu.  Jadi jelas namanya siapa, untuk perjanjian apa. Kalau salah satu diganti atau diubah harus dicabut dan diterbitkan yang baru. Hal-hal itu diatur dalam Permenlu tersebut.

Kenapa proses keluar permenlu lama?

Sebenarnya praktek pembuatan dan penerbitan surat kuasa sudah dilakukan sejak lama. Permenlu tersebut membakukan prosedur yang selama ini sudah dilakukan.

Mengapa surat kuasa diperlukan dalam perjanjian internasional, apakah memang intens perjanjian internasionalnya?

UU PI  mengatur mengenai kriteria perjanjian apa dan siapa yang perlu diberikan surat kuasa. Misalnya suatu kementerian akan membuat perjanjian yang sifatnya teknis, detail dan merupakan tupoksi kementerian tersebut, apalagi perjanjian itu merupakan perjanjian turunan dari suatu perjanjian induk antar Pemerintah. Biasanya untuk situasi seperti ini tidak perlu surat kuasa. Ada suatu perjanjian yang ditandatangani kementerian A misalnya, atas nama pemerintah RI. Substansi perjanjiannya sangat luas dan ditangani lintas kementerian/lembaga, maka untuk perjanjian ini, penandatangannya perlu surat kuasa.

Berapa banyak jumlah perjanjian internasional yang sudah disepakati?

Lumayan banyak, saat ini yang tersimpan di Treaty Room Kemlu ada 6.973. Bidang kerjasamanya macam-macam, seperti peningkatan kapasitas, kesehatan, pendidikan, pertahanan, kelautan, perdagangan, dan sebagainya.

Hambatan dalam pembuatan perjanjian internasional?

Hambatan, misalnya dari sisi substansi, kalau perjanjian internasional tersebut tidak sejalan dengan kepentingan nasional, atau bertentangan dengan pelaksanaan polugri. Misalnya, satu negara ingin kita dalam perjanjian perdagangan membuka akses pasar untuk komoditas tertentu yang di Indonesia sensitif, enggak bisa dibuka, ya kita enggak mau. Atau kerja sama yang melibatkan atau berpotensi bertentangan dengan politik luar negeri yang kita pegang. Kan ada negara yang kita punya hubungan diplomatik, tapi ada negara yang karena alasan tertentu kita tidak punya hubungan diplomatik. Kita perlu menghindari suatu ikatan hukum dengan negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik tersebut.

Ada kriteria khusus penerima kuasa pemerintah?

Praktik kita adalah Pejabat pemerintah, karena ini kan perjanjian antara Pemerintah suatu negara dengan yang lain.  Kriterianya kita melihat kesetaraan, misal disana menteri yang tanda tangan dan dari sini menteri juga. Jangan sampai disini Menteri disana direktur, kan enggak pas.

Misal kita ratifikasi suatu perjanjian, bisa otomatis diterapkan?

Ini adalah tema khusus dalam hukum internasional, dan ada perdebatan khusus mengenai itu, yaitu paham monisme dan dualisme. Sampai saat ini diskusi domestik mengenai apakah kita menganut prinsip monisme atau dualisme, saya kira belum selesai. Kalau ditanya Indonesia mengikuti prinsip mana, mungkin belum ada jawaban pasti. Dalam praktek selama ini, ada perjanjian internasional yang setelah kita tandatangani atau kita ratifikasi terus diberlakukan, namun ada pula perjanjian internasional yang memerlukan aturan implementasi, baru berlaku.

Hukumonline.com

Apa hal menarik dari suatu perjanjian menurut pengalaman Pak Dirjen?

Ada. Kalau yang mungkin saya pernah terlibat langsung itu adalah dalam FTA. Dalam perjanjian FTA chapter investasi itu ada ketentuan mengenai ISDS (Investor State Dispute Settlement). Ini adalah ketentuan prosedural yang mengatur penyelesaian sengketa antara investor asing dengan Pemerintah Indonesia. Perjanjiannya antar pemerintah tapi sengketanya antara investor dan pemerintah. Penyelesaian sengketanya gimana? Kalau sengketanya antar pemerintah ya diselesaikan antar pemerintah tapi kalau sengketanya investor swasta dengan pemerintah harus diselesaikan antar keduanya.

Bagaimana caranya? Di perjanjian itu klausul ISDS memberikan kewenangan kepada investor untuk membawa pemerintah ke forum penyelesaian sengketa tertentu, dimana posisi investor dan pemerintah menjadi sama, setara dimata hukum. Ini satu isu yang cukup kontroversial.

Ada beberapa yang menarik untuk dikaji, yang masyarakat dan pelaku usaha juga harus tahu. Ini hanya contoh kecil ya kalau kita gali masih banyak lagi.

Itu diratifikasi?

Iya kita tetap (ratifikasi). Dalam konteks ISDS tadi, yang kita lakukan, para negosiator kita membuat safe guard sedemikian rupa sehingga kalaupun kita dibawa ke arbitrase itu adalah last resort dan ada parameter yang harus dilalui. Jadi makanya perjanjian investasi ,termasuk isu penyelesaian sengketa pemerintah dan investor, pasalnya bisa banyak dan secara rinci diatur karena banyak safe guard yang kita taruh dan sifatnya sangat rinci. Ini adalah perkembangan baru. Makanya dalam perjanjian kerja sama penanaman modal sebelum tahun 2010 misalnya, perjanjiannya short, general, enggak detail, mungkin hanya 4-5 halaman. Tetapi perjanjian yang sekarang ini, 2020-an perjanjian yang sama bisa detail sampai 30 halaman.

Dalam penyusunan RUU Hukum Perdata Internasional, sejauh mana Kemenlu terlibat?

Penjurunya adalah Kemenkumham, Kemlu merupakan bagian dari tim Pemerintah yang terlibat dalam pembahasan RUU HPI tersebut. Di Kemenlu ada satu direktorat (HP Sosbud) yang memiliki fungsi salah satunya penanganan perdata internasional. Direktorat itu selama ini intens mengikuti rapat dan pembahasan RUU HPI.  

Urgensi RUU HPI menurut Kemenlu?

Saat ini semakin banyak WNI yang berinteraksi dengan WNA, entah karena bisnis atau personal seperti pernikahan. Ada keperluan untuk memberikan kepastian hukum dalam hal ada kejadian atau perselisihan antara WNI dan WNA ini. Masyarakat kita saat ini sudah semakin go international. Untuk itu menurut saya RUU HPI menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.

Tags: