Wawancara Khusus dengan Dirjen HPI Kemlu, L. Amrih Jinangkung
Profil

Wawancara Khusus dengan Dirjen HPI Kemlu, L. Amrih Jinangkung

Perjanjian Internasional punya peran penting bagi Indonesia.

Aji Prasetyo
Bacaan 7 Menit

Saya rasa tergantung substansi perjanjiannya. Kalau substansi perjanjiannya dirasa jauh sekali dari kehidupan sehari-hari, mungkin masyarakat merasa tidak ada hubungannya dengan mereka. Selain itu, bisa jadi juga karena keterbatasan informasi. Contohnya begini, sebenarnya banyak perjanjian yang berpengaruh langsung ke masyarakat, misalnya FTA (Free Trade Agreement), terakhir yang kita buat di ASEAN yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ini merupakan perjanjian FTA antara ASEAN dan dialog partners, kecuali India yang belum tanda tangan. RCEP ini adalah mega FTA dan berpengaruh langsung ke masyarakat. Melalui perjanjian ini kita diminta membuka pasar, dan di saat bersamaan kita juga minta pihak mitra membuka pasar untuk Indonesia, jadi sebenarnya untuk masyarakat umum bisa berpengaruh langsung. Hanya saja mungkin ada kekurangtahuan masyarakat, atau mungkin di pihak pemerintah kurang sosialisasi kepada masyarakat. Contoh lainnya, misalnya isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Kita sudah punya perjanjian dengan beberapa negara penerima PMI yang memberikan perlindungan kepada PMI. Namun masih belum banyak masyarakat yang aware akan hal ini, sehingga perlu bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat.  

Apakah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional masih relevan mengingat sudah berusia sekitar 12 tahun?

Masih relevan.  Undang-undang ini adalah kodifikasi dari praktik kenegaraan yang sudah dilakukan. UU mengenai Perjanjian Internasional baru ada tahun 2000, sementara RI membuat perjanjian internasional sudah semenjak republik berdiri. Mereka melakukan perjanjian itu mengikuti praktik yang terjadi di dunia internasional, kemudian UU PI ini mengkodifikasi praktik tersebut. UU ini mengambil referensi dari ketentuan mengenai perjanjian internasional yang sudah ada, khususnya Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional. Apakah masih relevan? Masih. Kemudian, di tahun 2018 ada judicial review dari Mahkamah Konstitusi, khususnya mengenai aspek ratifikasi. UU PI tahun 2000 itu lebih mengatur mengenai isu prosedural, seperti tahapan pembuatan perjanjian internasional, penerbitan surat kuasa, proses ratifikasi, dan sebagainya. Jadi saya kira akan selalu relevan. Kalau harus direvisi, ya karena sudah ada uji materi dari MK.  

Pasal 7 UU Perjanjian Internasional mengatur soal pemberian kuasa bagi penandatangan perjanjian internasional. Pada Juli lalu ada sosialisasi Permenlu nomor 8 tahun 2021, poinnya apa saja?

Surat kuasa atau Full Power merupakan suatu dokumen yang diatur dalam hukum internasional, khususnya Konvensi Wina. Surat kuasa berisi pernyataan dari Presiden atau Menteri Luar Negeri, yang memberikan kewenangan atau kuasa bagi seseorang untuk menandatangani perjanjian internasional. Kenapa harus pakai surat kuasa? Untuk menunjukkan bahwa seseorang adalah wakil resmi Pemerintah/Negara untuk menandatangani perjanjian tersebut.

Di dalam praktik internasional, berdasarkan Konvensi Wina, hanya dua orang yang tidak perlu surat kuasa untuk menandatangani suatu perjanjian, yang pertama Presiden / Kepala Pemerintahan, yang kedua adalah Menteri Luar Negeri. Presiden adalah representasi suatu pemerintah, dan Menlu secara ex officio punya kewenangan untuk menjalankan hubungan luar negeri. Dua pejabat ini yang tidak perlu surat kuasa, dan hanya dua pejabat ini yang bisa mengeluarkan surat kuasa. Jadi kalau ada menteri A akan menandatangani suatu perjanjian internasional dimana para pihaknya adalah antar Pemerintah, maka ia memerlukan surat kuasa untuk dapat mengikatkan Pemerintah RI dalam suatu perjanjian.

Nah, Permenlu Nomor 8 Tahun 2021 itu adalah permenlu yang mengatur isu prosedural teknis mengenai bagaimana penerbitan surat kuasa, atau pencabutan surat kuasa dalam hal terjadi pergantian pejabat yang harus menandatangani suatu perjanjian. Surat kuasa itu hanya berlaku untuk satu kali, untuk orang yang namanya tertera disitu dan hanya berlaku untuk perjanjian yang ditulis disitu.  Jadi jelas namanya siapa, untuk perjanjian apa. Kalau salah satu diganti atau diubah harus dicabut dan diterbitkan yang baru. Hal-hal itu diatur dalam Permenlu tersebut.

Tags: