WALHI: JR UU 32/2009 Membahayakan Lingkungan Hidup
Berita

WALHI: JR UU 32/2009 Membahayakan Lingkungan Hidup

Data Walhi menunjukkan sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi perusahaan, setidaknya dalam peristiwa karhutla tahun 2015.

DAN
Bacaan 2 Menit
Kantor Walhi Jakarta. Foto: Sgp
Kantor Walhi Jakarta. Foto: Sgp
Sejumlah korporasi sektor hutan dan perkebunan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi terkait beberapa pasal dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap oleh perusahan bertentangan dengan Konstitusi, khususnya pasal 88 yang di dalamnya mengandung prinsip strict liability dalam kasus pelanggaran lingkungan hidup.

Menanggapi gugatan Korporasi tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melalui rilis yang diterima hukumonline mengatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh sejumlah korporasi tersebut memiliki banyak dampak ke depan. Menurut Walhi, selain berbahaya terhadap lingkungan hidup, gugatan tersebut juga mengancam keselamatan hidup rakyat banyak kalau sampai nantinya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

“Gugatan JR yang diajukan oleh kekuatan korporasi ini bukan hanya berbahaya bagi lingkungan hidup, tetapi juga berbahaya karena mengancam keselamatan hidup rakyat, bukan hanya generasi hari ini, tetapi juga generasi yang akan dating,” terang Walhi dalam rilisnya kepada hukumonline, Minggu (28/5).

Menurut Walhi, sesungguhnya UU 32/2009 telah berpedoman kepada konstitusi. Oleh karena itu, UU 32/2009 dinilai sebagai salah satu UU yang sangat progresif untuk melindungi lingkungan hidup dan keselamatan rakyat banyak. (Baca Juga: Pemerintah, Akademisi, Pelaku Bisnis, dan Aktivis Bicara Nasib Freeport)

“Meletakkan hal yang paling fundamental, bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagai hak asasi, sebagai hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia,” ujar Walhi.

Melalui rilis tersebut, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati menyatakan, JR terhadap UU 32/2009 ini merupakan salah satu upaya korporasi untuk mensiasati ketentuan yang telah diatur dalam UU tersebut.

”Korporasi terus berupaya melemahkan Negara dan supremasi hukum melalui berbagai upaya, termasuk JR yang dilakukan oleh Asosiasi Pengusaha Hutan dan Perkebunan skala besar ini,” ujarnya.

Menurut Hidayati, selain melalui JR ini, selama ini korporasi terus melakukan manuver untuk menghindari ketentuan regulasi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Selain itu, melalui upaya di DPR, korporasi juga tengah mendorong RUU Perkelapasawitan. (Baca Juga: Mendudukan Izin Lingkungan Sebagai Instrumen Save Guard)

Selanjutnya, Hidayati mengatakan bahwa saat ini korporasi tengah beruapaya untuk mempengaruhi opini publik bahwa problem sesungguhnya dari kebakaran hutan dan lahan gambut adalah disebabkan oleh masyarakat adat dan lokal, dan mengklaim bahwa perkebunan sawit dan kebin kayu skala besar bukanlah penyebab deforestasi.

“Kini korporasi mencoba membangun logika hukum bahwa mereka yang dilanggar hak-haknya dengan membiaskan entitas korporasi skala besar sama dengan warga negara, padahal sesungguhnya mereka lah aktor yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa kebakaran hutan dan ekosistem rawa gambut. Praktik investasi yang selama ini dilakukan oleh kekuatan korporasi inilah yang justru banyak melanggar hak-hak dasar warga negara, merampas hak asasi manusia dan bahkan merampas hak lingkungan hidup itu sendiri," tegas Hidayati.

Dihubungi terpisah, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Walhi, Alin, mengatakan bahwa UU 32/2009 adalah UU yang selama ini cukup mengakomodir beberapa isu penting persoalan kehutanan termasuk dalam hal penegakan hukum, khususnya kasus-kasus besar yang melibatkan aktor besar sehingga kasus-kasus lingkungan tersebut merupakan kasus lingkungan yang struktural dan sistematis karena terkait dengan perizinan, kebakaran hutan, dan lahan.

Menjelaskan prinsip strict liability, Alin mengatakan prinsip ini merupakan pertanggung jawaban mutlak perusahaan dalam kasus-kasus kejahatan lingkungan. Oleh karena itu, menurut Alin, mestinya prinsip ini diperkuat karena sebenarnya pihak pemerintah sendiri belum cukup optimal menggunakan UU 32/2009. (Baca Juga: Rekomendasi WALHI Terkait Implementasi Moratorium Izin Tata Kelola Hutan)

Data Walhi menunjukkan sebagian besar titik api berada di wilayah konsesi perusahaan, setidaknya dalam peristiwa karhutla tahun 2015. “Sehingga sudah seharusnya mereka bertanggung jawab terhadapa titik apai yang berada di area konsesinya, sebagai tanggung jawab mutlak mereka.” Pungkas Alin.

Sebelumnya, sejumlah korporasi sektor hutan dan perkebunan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mengajukan Judicial Review (JR) UU 23/2009 ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam salinan permohonan JR yang diterima oleh hukumonline, pemohon menjelaskan bahwa pasal 69 ayat (1) huruf h UU 32/2009, setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan, tidak konsisten dan kontra produktif dengan keberadaan pasal 69 ayat (2) UU 32/2009 dan penjelasannya, yang membolehkan pembakaran hutan atau lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektar bagi per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas local dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekitarnya.

Kemudian menurut pemohon, keberadaan pasal 69 ayat (2) ini memiliki hubungan langsung dengan pasal 88 UU 32/2009 yang mengatur tentang prinsip pertanggung jawaban mutlak. Selanjutnya, kedua pasal tersebut juga memiliki keterkaitan dengan pasal 99 UU 32/2009 yang memuat frasa kelalaian dalam cakupan yang sangat luas dan tidak mencerminkan prinsip kepastian hukum.

Oleh karena itu, pemohon, dalam hal ini APHI dan GAPKI, merasa pasal 69 ayat (2), pasal 88, pasal 99 ayat (1) UU no 32/2009 juncto pasal 49 UU No. 41 tahun 1999 telah merugikan hak konstitusional para pemohon.

Tags:

Berita Terkait