Wacana PPHN dan Perbaikan Struktur Ketatanegaraan Indonesia Pasca Reformasi
Kolom

Wacana PPHN dan Perbaikan Struktur Ketatanegaraan Indonesia Pasca Reformasi

Amandemen yang diusulkan haruslah bersifat strategis dan menjadi pemecahan atas permasalahan bangsa.

Bacaan 4 Menit
Rico Novianto. Foto: Istimewa
Rico Novianto. Foto: Istimewa

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengungkapkan wacana amandemen ke V Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 demi mengatur Pokok–Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana tersebut memerlukan Ketetapan (TAP) MPR sebagai bentuk hukum yang ideal bagi PPHN sekurang–kurangnya berkaitan dengan dua pasal dalam UUD 1945. Di antaranya adalah penambahan 1 ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada Pasal 21 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.

Amandemen terbatas UUD 1945 agar MPR memiliki kewenangan menetapkan pedoman pembangunan nasional ‘model GBHN’ yang disebut PPHN. PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitutional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang bersifat teknokratis.

Rencana strategis tersebut bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat elektoral. Dasar hukum PPHN sebagai TAP MPR menurut Bamsoet dimaksudkan karena Undang–Undang masih dapat diajukan judicial review dan PPHN tidak dimungkinkan diatur langsung dalam konstitusi karena merupakan produk kebijakan yang berlaku periodik, disusun berdasarkan kehidupan masyarakat dan bersifat direktif.

Amandemen konstitusi tentunya bukanlah sebuah hal yang tabu dalam kehidupan berbangsa. Dalam penyusunannya, nilai–nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang–Undang Dasar. Karena itu, geistichenhentergrund atau suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis menjadi pertimbangan dalam perumusan yuridis ketentuan Undang–Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama.

Satu konsep atau norma yang dirumuskan lalu dimasukkan ke dalam struktur konstitusi yang sudah terbentuk, maka akan memberi pengaruh dari seluruh sistem dalam konstitusi ketika dia memasuki struktur konstitusi. Norma baru harus mengalami harmonisasi dengan keseluruhan struktur dan sistem dalam konstitusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Penerapan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada UUD 1945 sebelum perubahan adalah konsekuensi logis dari Presiden yang bertindak sebagai mandataris dari MPR. Maka dari itu, Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan karena MPR adalah lembaga negara tertinggi yang memegang kedaulatan rakyat. Apabila Presiden melanggar GBHN yang merupakan mandat yang diberikan oleh Rakyat, maka kekuasaan rakyat yang dijelmakan MPR dapat memberhentikan Presiden.

UUD 1945 setelah perubahan mengubah hubungan MPR dan Presiden dari yang tadinya untergeordnet atau mandataris menjadi neben atau sederajat berdasarkan prinsip check and balance. Hal tersebut harus menjadi pertimbangan apabila PPHN ditetapkan sebagai haluan negara. Usulan pada pasal 21 yang ditujukan sebagai bentuk pengawasan dari DPR untuk memastikan PPHN dijalankan oleh Presiden tentunya harus tidak bisa serta merta bersifat PPHN sebagai acuan yang mengikat Presiden mengingat bahwa pembentukan RUU adalah kesepakatan bersama antara DPR dan Presiden sesuai dengan struktur ketatanegaraan Pasal 20 UUD 1945 setelah perubahan.

Haluan Negara sendiri dalam praktiknya selama ini diatur melalui TAP MPR No. IV/MPR/1973, TAP MPR No. IV/MPR/1978, dan TAP MPR No IV/MPR/1999. Pasca UUD setelah perubahan seiring dicabutnya kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN, haluan negara diatur melalui UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 (RPJP) yang kemudian diturunkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang terakhir diatur melalui Perpres No. 18 Tahun 2020 Tentang RPJMN Tahun 2020–2024 dan terdapat tiga kali perubahan mulai dari 2005–2009, 2010–2014, 2015–2019 yang telah melewati empat periode jabatan presiden dengan dua presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung tanpa adanya perubahan atau gugatan terhadap RPJP atau SPPN yang telah diatur sejak awal.

RPJP yang saat ini menjadi pengganti haluan negara sudah diterapkan sebagaimana mestinya dan kekhawatiran Bamsoet akan gugatan atau perubahan signifikan dari setiap perubahan presiden selama ini tidak terjadi. RPJP akan habis masa berlakunya kurang dari lima tahun ke depan dan tentunya harus dirumuskan dan harus ada pembaharuan landasan dari arah pembangunan Indonesia 2025–2050 yang akan ditetapkan melalui UU yang musti didorong pada periode DPR 2019–2024, mengingat pada 2021 baru menyelesaikan sembilan dari total 246 RUU yang ditargetkan.

Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, amandemen UUD 1945 merupakan gagasan yang harus didukung selama ditujukan untuk memperkuat dan menambah kewenangan lembaga negara, tidak akan menciptakan inefisiensi dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip ‘check and balances’ antar lembaga.

Terobosan hukum yang dapat diusulkan oleh MPR dalam amandemen menurut Prof Jimly salah satu di antaranya adalah usulan pembentukan Mahkamah Etik. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak semua persoalan hukum harus diselesaikan dengan hukum penjara, terlebih over capacity penjara yang saat ini terjadi dengan kasus tewasnya 48 napi di Lapas Tangerang yang juga disebabkan karena over capacity 300% dari penjara tersebut. Penataaan sistem adab atau sistem etik berbangsa dan bernegara diharapkan dapat menjadi solusi dari kebebasan berpendapat oleh pihak yang berseberangan yang sering disalahartikan.

Selain itu, MPR seharusnya memprioritaskan solusi atas permasalahan bangsa yang masih belum optimal melalui UUD 1945 setelah perubahan. Hal tersebut di antaranya terkait dengan Hukum Negara Dalam Keadaan Darurat yang dapat mendukung langkah strategis pemerintah dalam penanganan bencana dan krisis oleh alam/manusia yang terjadi secara massif di antaranya adalah tsunami Aceh, penyelesaian konflik di Aceh, Maluku, dan Papua, serta penanggulangan Covid-19.

Pada akhirnya, pengkajian terhadap UUD 1945 harus terus dilakukan oleh MPR secara rutin dan berkala sesuai dengan kondisi perkembangan bangsa. Amandemen yang diusulkan haruslah bersifat strategis dan menjadi pemecahan atas permasalahan bangsa. Hal tersebut mengingat proses amandemen yang disyaratkan dalam Pasal 37 memiliki ketentuan rigid dalam penerapannya. PPHN sebagai wacana amandemen hendaknya tidak hanya menjadi penguatan lembaga MPR tetapi menjadi sarana perbaikan sistem ketatanegaraan dan harus memastikan pembangunan berkelanjutan serta solusi atas permasalahan bangsa yang terjadi saat ini.

*)Rico Novianto S.H., Peneliti Pusat Studi HTN FHUI dan M.A. Candidate pada University Prince of Songkla Thailand.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait