Visi Pemerintah dan Mahkamah untuk Perubahan UU Advokat
Kolom

Visi Pemerintah dan Mahkamah untuk Perubahan UU Advokat

​​​​​​​Advokat seharusnya menjadi sumber ide dan pembaharu hukum.

Bacaan 2 Menit
Agung Pramono. Foto: Istimewa
Agung Pramono. Foto: Istimewa

Sejarah mungkin seperti berulang. Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVI/2018 seperti kembali ke tahun 1920-an (catatan sejarah), titik balik ketika hanya ada dua entitas dengan satu kekuatan advokat, Perhimpunan Indonesia dan Partindo. Gerakan perlawanan terhadap kolonial dan semua perjuangan ini ternyata dipelopori para advokat sebagai sumber ide dan pembaharu negara.

 

Kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian terlibat masuk bersama jadi reformis yang menuntut parlemen harus objektif, sampai akhirnya lahir UUD 1945. Hingga pada tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent antara pemerintah RI dengan IMF menyimpulkan perlunya RUU tentang Profesi Advokat diajukan ke DPR-RI melalui Surat Presiden R.19/PU/9/2000 tanggal 28 September 2000 [Patricia J. Kendall, Inventory Assessment of Indonesian Bar Association (Laporan penelitian yang dikerjakan untuk USAID/ELIPS Bridge Project, Maret 2001), hlm. 4].

 

Adnan Buyung menyampaikan, ide organisasi ‘junitre’ dalam Rapat Panja RUU Advokat, yang pada dasarnya hampir seperti konfederasi, dan regulasi yang ada dari kesepakatan konfederasi menghasilkan suatu omnibus law (hukum payung) bagi organisasi federan, sesuatu yang visioner yang disampaikan pada tahun 2003.

 

Memilih Rumusan Kenyataan

Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVI/2018 bukanlah putusan yang berdiri sendiri karena menyebut beberapa putusan lain yang (menurut penulis) bukan ratio decidendi melainkan obiter dicta karena terdapat kutipan-kutipan dari konsiderans atas beberapa putusan dan juga fakta-fakta lapangan serta pertimbangan moral-etik, yang bahkan termasuk juga mencantumkan sikap Mahkamah Agung. Oleh karenanya, untuk membaca putusan tersebut harus juga membaca Putusan MKRI Nomor 101/PUU-VII/2009, Nomor 112/PUU-XII/2014, Nomor 36/PUU-XIII/2015, SKMA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, dan SKMA Nomor 089/KMA/HK/VI/2010.

 

Obiter dicta dalam putusan dipakai ketika hakim ingin menggunakan indikasi atau petunjuk-petunjuk tertentu dalam memutus suatu kasus yang serupa. [Masni Larenggam, Urgensi Obiter Dicta dalam Putusan Hakim Perkara Perdata, dalam Jurnal Hukum Lex et Societatis, Vol. III/No. 10/Nov/2015, hal. 96].

 

Penulis tidak ingin terjebak dalam perdebatan mengenai konsiderans dari putusan tersebut, entah ratio decidendi ataupun obiter dicta karena banyak sekali teori kepentingan yang bisa membelah mahkamah. Sebab, dalam pandangan awam, advokat yang sering kali berburuk rupa, yang justru menempatkan advokat itu sendiri di ujung tanduk.

 

Sebagian tentu menyimpulkan putusan 35/PUU-XVI/2018 dengan berpedoman kepada masing-masing putusan yang disebutkan dalam konsiderans, dan memilih di antara ratio-ratio yang tersebar itu berdasarkan kepentingannya. Namun, skeptisisme terhadap keseluruhan rumusan konsiderans menimbulkan logika melompat dalam silogisme, ditambah lagi skeptis atau lebih tepatnya apatisme terhadap fakta yang memungkinkan terjadinya kesesatan (ignoratio elenchi).

 

Perhatian bagi penulis sendiri sebenarnya adalah pada pendirian MK sebagaimana yang dinyatakan dalam konsiderans Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018 itu. Frasa ‘mengenai masalah konstitusionalitas sebenarnya telah selesai’ bukanlah akhir, harus memperhatikan rangkaian konsiderans, karena frasa tersebut berlanjut dan berkaitan dengan pertimbangan faktual antara lain karena pada kenyataannya masih terjadi konflik yang harus diselesaikan oleh organisasi advokat dalam waktu 2 tahun setelah kesepakatan. Namun, ternyata tidak tercapai, terlalu berlarut bahkan bertambah masalah hingga kedua Mahkamah bahkan Pemerintah dalam Politik Hukumnya kemudian meyerahkan langkah selanjutnya pada kebijakan politik pembuat UU.

 

Penulis yakin, dalam putusan-putusan lainnya Mahkamah Konstitusi berusaha menyelesaikan masalah instabilitas, bahwa perintah konstitusi yang kaku tidak mampu beradaptasi dengan keadaan-keadaan yang terus-menerus berubah. [lihat Paul Brest, The Misconceive Quest for Original Understanding, Boston University Law Review, Vol. 60: 204, 1980, hlm. 214-231].

 

Karena ketika ratio pertama mengatakan 'sudah ada wadah' tapi ratio selanjutnya berkata 'wadah itu selalu bermasalah'.

 

Dalam konteks advokat, sering kali hal yang dimohonkan bahkan tidak berkait dengan konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian melainkan dalam penerapan norma, bahkan, kadang tidak ada kaitan sama sekali dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang melainkan justru kasus konkret yang telah diputus. Terhadap persoalan demikian, penyebabnya sebagian besar karena tidak adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara-perkara pengaduan konstitusional. [lihat I D.G. Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint), Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika: Jakarta, 2015].

 

Oliver Wendell Holmes Jr., mengingatkan agar hakim tidak terpaku pada sistem yang kaku, deterministik, dan legalistik. Melihat realitas hukum yang hidup dalam masyarakat, dan dalam membuat putusan, hakim selalu memasukkan suatu pertimbangan pribadi yang extra-legal sifatnya agar keputusan-keputusan yang dibuat lebih fungsional bagi kehidupan masyarakat. [lihat Rahardjo, 2009: 229-233].

 

Sikap dan Pendirian Mahkamah

Mahkamah Agung mencatat rangkaian kejadian perseteruan antar organisasi advokat dalam keterangannya pada perkara Nomor 35/PUU-XVII/2018, sebagaimana tercatat di halaman 98-99 dari Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018.

 

Hingga terbitnya SKMA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 merupakan perwujudan dari jiwa kesepakatan Rapat Panja RUU Advokat yang menyerahkan fasilitasi kepada MA bilamana dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah terbitnya UU Advokat belum dilahirkan struktur dan bentuk organisasi advokat. [lihat Risalah Rapat Panja RUU Advokat sepanjang bulan Pebruari 2003].

 

MA juga tidak berkepentingan dalam konflik organisasi advokat apalagi sampai memihak, menyerahkan sepenuhnya penyelesaian konflik kepada para advokat dan pembentuk undang-undang [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 100], demikian juga pendapat yang sama dari MK melalui Putusan MKRI Nomor 112/PUU-VII/2014 halaman 90.

 

Keterangan MA tersebut menguatkan keterangan sebelumnya melalui Dr. Takdir Rahmadi, SH., LLM, Ketua Kamar Pembinaan MARI dalam sidang Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 pada halaman 7 angka 14 dan halaman 12 angka 17 dengan menyatakan tidak berkepentingan untuk menyatakan satu atau multibar ataupun hanya satu-satunya, tidak ada kepentingan untuk mempertahankan, harus monobar atau singlebar, atau multibar, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 317].

 

Kemudian, maksud daripada kalimat dalam Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, halaman 317, huruf c paragraf 2, mengenai ‘jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat’ dan tentang ‘lewatnya masa dua tahun sebagaimana amar putusan Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009’ itu merujuk kepada tenggang waktu yang diberikan baik oleh MA maupun MK kepada organisasi ‘yang pada saat ini secara de facto ada’ [vide Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009] yaitu PERADI dan KAI. [vide angka [3.14] nomor (4) Putusan MKRI Nomor 112/PUU-VII/2014, hlm. 86 dan Putusan MKRI Nomor 101/PUU-VII/2009].

 

Jangka waktu tersebut diberikan dengan tujuan bahwa PERADI dan KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. [vide Putusan MKRI Nomor 101/PUU-VII/2009, hlm. 35].

 

Akhirnya kedua Mahkamah berpendapat yang sama untuk tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul [vide Putusan MKRI Nomor 112/PUU-VII/2014, hlm. 89], dan bahkan PERADI yang dianggap sebagai wadah tunggal sudah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah [vide SKMA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 angka 2 mendasarkan pada SKMA Nomor 089/KMA/HK/VI/2010].

 

Permasalahan organisasi juga diungkap oleh YM Arief Hidayat yang mengatakan, “... Karena memang undang-undang ini menghendaki wadah tunggal, tapi ternyata di dalam praktik memang susah. Kemudian, Mahkamah tadi disampaikan oleh Yang Mulia Pak Surhatoyo mengikuti sebetulnya keinginan dari Bapak-Bapak sekalian, semuanya...” [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018, hlm. 41].

 

Resultante Pemerintah dan Kedua Mahkamah

Surat Presiden R.19/PU/9/2000 tanggal 28 September 2000 menunjukkan komitmen politik hukum pemerintah, yang ditegaskan ketika menanggapi pertanyaan YM Saldi Isra mengenai pola penyelesaian dan titik singgung antara politik hukum Pemerintah dengan politik hukumnya DPR atas permasalahan organisasi advokat. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 87].

 

Pemerintah menjabarkan rangkaian langkah implementasi dari idea perubahan atas UU Advokat, dengan kalimat penutup “Demikian rancang bangun politik hukum advokat di Indonesia yang beberapa waktu lalu telah dibahas oleh DPR bersama Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar didalam putusannya memerintahkan kepada pembentuk undang-undang agar segera membahas kembali RUU Advokat tersebut yang telah dibahas pada masa lalu. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 92].

 

Mengingat tengah diterapkannya politik hukum oleh pemerintah, kemudian MK menyatakan pendiriannya dengan menunjuk pembentuk undang-undanglah yang memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang sesuai dengan kebutuhan organisasi advokat di Indonesia. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, hlm. 319-320, 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 bertanggal 29 September 2015].

 

MK akhirnya menyatakan bahwa permasalahan organisasi advokat yang secara faktual saat ini masih ada merupakan kasus-kasus konkret yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah menilainya. [vide Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018 angka [3.26] hlm. 321].

 

Melalui Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018, Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 menunjukkan bahwa MK menyepakati Mahkamah Agung dan Pemerintah dengan menganjurkan kepada organisasi advokat untuk bersama pembentuk undang-undang agar segera menindaklanjuti RUU Advokat yang telah dibahas pada masa lalu.

 

Melanjutkan Upaya Visioner Secara Konstitusional

Prof. Otto Hasibuan membaca dengan baik Putusan MKRI Nomor 35/PUU-XVII/2018. Di sisi lain organisasi advokat sedang mengalami lagi masa ketegangan. Namun, secara pribadi penulis kagum terhadap analisis beliau atas putusan tersebut yang mana pandangannya disampaikan dalam Rakernas PERADI di Surabaya tanggal 27 November 2019, salah satunya adalah untuk memastikan penyebutan nama demi kepastian hukum melalui ruang persidangan.

 

Namun, hal itu akan mengalami kesulitan SKMA di atas menunjukkan sikap akhir dari Mahkamah Agung yang menjadi pedoman bagi peradilan di bawahnya untuk tidak terbawa arus konflik dalam bentuk upaya hukum.

 

Demikian juga apabila advokat masih juga berpandangan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan tempat di mana legitimasi konstitusional dapat diperoleh, maka harus dipahami bahwa dalam putusannya MK telah berpendirian terhadap konflik organisasi advokat.

 

Upaya lainnya secara konstitusional adalah duduk bersama untuk membahas masa depan advokat dengan merancang-bangun kembali UU Advokat, melanjutkan proses yang telah dimulai oleh Pemerintah sebagai sikap politik, dan ini adalah pilihan langkah hukum Presiden Kongres Advokat Indonesia Tjoetjoe Sandjaja Hernanto.

 

Advokat seharusnya menjadi sumber ide dan pembaharu hukum, dan jangan hanya berpikir bahwa lingkup aktivitas advokat hanyalah seputar litigasi dan nonlitigasi, akan tetapi juga sebagai penemu dan pembentuk hukum, sebagai pejuang negara yang visioner sebagaimana kelahirannya selaku pilar berdirinya negara, di usia yang sangat muda.

 

*)Adv. Agung Pramono, S.H., CIL. adalah Anggota Kongres Advokat Indonesia (KAI).

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Tags:

Berita Terkait