UU Advokat dan PERADI; Refleksi Menuju 16 Tahun PERADI
Kolom

UU Advokat dan PERADI; Refleksi Menuju 16 Tahun PERADI

​​​​​​​Tersirat harapan penyatuan seluruh advokat Indonesia.

Bacaan 4 Menit
Johan Imanuel. Foto: Istimewa
Johan Imanuel. Foto: Istimewa

Sejarah tidak bisa memisahkan antara UU Advokat dan PERADI. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat maka menurut Pasal 32 ayat (4), Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan. Belum sampai dua tahun atau dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk PERADI.

Dalam beberapa kesempatan, Penulis pernah menyampaikan beberapa komentar mengenai UU Advokat dan PERADI. Hal tersebut penting bagi profesi advokat dan Indonesia. Salah satu hal yang menarik perhatian advokat dan publik adalah keterdesakan untuk penyatuan advokat Indonesia dalam satu wadah (single bar) memang harus dikedepankan demi kepatuhan pada undang-undang yang memang menginginkan hanya satu wadah.

Namun pada kenyataannya, saat ini tidak dipungkiri Organisasi Advokat banyak bermunculan. Adapun kelonggaran atas pendirian Organisasi Advokat (tidak ada batasan) menjadi salah satu faktor.  Di lain pihak, ada juga Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 073/2015 (SKMA 073/2015) terkait penyumpahan advokat yang dinilai melahirkan advokat saat ini bukan dari kualitas melainkan kuantitas.

Diakui, bahwa SKMA 073/2015 pernah diuji materi oleh beberapa advokat ke Mahkamah Agung karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Advokat. Sayangnya putusan tidak dapat diterima dengan alasan bahwa SKMA tersebut bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi hal tersebut bukanlah suatu alasan tidak dapat disatukan kembali advokat di Indonesia dalam single bar. Dengan eksisnya SKMA 073/2015 hal ini membuka peluang penyumpahan untuk calon advokat tidak terbatas melalui PERADI. Sehingga sampai dengan saat ini Pengadilan Tinggi tetap melakukan penyumpahan terhadap calon advokat yang tidak melalui PERADI.

Dalam suatu kesempatan Penulis bersama dengan Komunitas Advokat (Tim Advokasi Amicus) pernah mengkritisi melalui surat resmi kepada Ketua Mahkamah Agung untuk meninjau kembali SKMA 073/2015 akan tetapi tidak diberikan jawaban sampai dengan saat ini. Hanya saja Penulis pernah memperoleh informasi melalui berbagai media di mana Ketua Mahkamah Agung (Desember 2019) enggan merespons adanya keinginan advokat agar SKMA 073/2015 dicabut dan menyatakan biar masyarakat yang menilai sendiri mana advokat yang berkualitas atau tidak. Padahal SKMA 073/2015 sudah menjadi isu nasional dan disorot oleh seluruh lapisan masyarakat.

Oleh karenanya dibutuhkan alternatif solusi agar terealisasi harapan bagi advokat di Indonesia agar dapat bersatu dalam single bar.

Harapan Penyatuan Advokat

Dalam beberapa diskusi dengan beberapa advokat secara langsung, harapan yang sering didengar adalah revisi Undang-Undang Advokat agar advokat di Indonesia dapat disatukan kembali dalam PERADI. Harapan penyatuan advokat melalui revisi undang-undang bisa dibilang bukan hal yang mudah. Mengapa demikian. Pertama, Undang-Undang Advokat telah seringkali di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun menurut hemat Penulis, Putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat dirujuk demi penyatuan advokat dalam PERADI melalui revisi undang-undang adalah Putusan MK Nomor 035/PUU-XVI/2018. Karena dalam Putusan MK tersebut telah menegaskan PERADI yang sah dalam menjalankan delapan kewenangan organisasi advokat.

Tags:

Berita Terkait