Upaya Menyamakan Persepsi dalam Industri Asuransi
Kolom

Upaya Menyamakan Persepsi dalam Industri Asuransi

Perbedaan persepsi yang terjadi menunjukkan masih perlu ditingkatkannya keterbukaan informasi oleh pihak asuransi dan sekaligus kemampuan nasabah dalam memahaminya.

Bacaan 5 Menit
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa
Yosea Iskandar. Foto: Istimewa

Industri asuransi dikabarkan mencatat angka pertumbuhan positif di semester pertama tahun 2021 ini, seiring dengan pertumbuhan sektor jasa keuangan yang tetap stabil. Hal tersebut tentunya adalah berita yang menggembirakan. Namun di sisi lain beberapa waktu belakangan ini industri asuransi mendapat perhatian luas dari masyarakat dengan munculnya berbagai keluhan bahkan gugatan dari para nasabahnya. Baik mengenai pertanggungjawaban pihak asuransi atas pemanfaatan dana yang diterimanya, maupun pemenuhan kewajiban atas pembayaran klaim yang diajukan nasabahnya.

Misalnya dalam kasus Jiwasraya, di mana terjadi dugaan penyalahgunaan dana atau penempatan investasi secara melawan hukum yang melibatkan oknum pejabat perusahaan dan manajer investasi. Banyak nasabah yang membeli produk asuransi tidak pernah membayangkan akan terkena risiko kehilangan seluruh dana yang telah dibayarkannya.

Atau kasus lain yang juga sempat ramai di sosial media, tentang keluhan seorang nasabah mengenai klaim asuransi kesehatannya. Nasabah merasa telah membayar premi sedemikian lama, namun pada saat dibutuhkan asuransi ternyata hanya membayarkan sebagian dari biaya rumah sakitnya. Walaupun akhirnya kasus tersebut selesai dengan baik, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi nasabah lainnya.

Perbedaan Persepsi

Berbagai perselisihan antara nasabah dengan perusahaan asuransi mengindikasikan masih terjadinya perbedaan persepsi antara nasabah dengan pihak asuransi. Antara lain persepsi mengenai produk yang ditawarkan. Hal ini terutama dapat dengan mudah terjadi dalam produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau biasa dikenal dengan unit link.

Nilai investasi nasabah dalam unit link akan langsung dipengaruhi oleh pergerakan atau fluktuasi harga pasar dari efek yang membentuk portofolio investasi. Apabila nasabah hanya memiliki pengetahuan mengenai produk asuransi jiwa tradisional, misalnya, tentu akan kesulitan untuk memahami adanya risiko pasar dan risiko likuiditas yang terkait dengan produk unit link.

Demikian juga halnya dengan perbedaan antara harapan nasabah saat membeli produk dibandingkan dengan manfaat yang diterimanya di kemudian hari. Seberapa besar manfaat yang akan diterima nasabah akan sangat bergantung persyaratan dan kondisi yang sebelumnya telah ditetapkan oleh perusahaan asuransi. Sekalipun di atas kertas nasabah telah memberikan persetujuannya, namun dalam pelaksanaannya bukan hal yang mudah bagi nasabah untuk memahami berbagai klausula mengenai apa yang ditanggung dan apa yang dikecualikan.

Sebagai bagian dari industri jasa keuangan yang mengandalkan kepercayaan masyarakat dalam menjalankan usahanya, perbedaan tersebut patut dicermati oleh para pemangku kepentingan terkait. Pesatnya pertumbuhan suatu industri apabila tidak diiringi dengan pemahaman nasabah yang baik dapat mengakibatkan turut meningkatnya potensi perselisihan di kemudian hari. Jika tidak dikelola dengan baik tentu berpotensi mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat pada masing-masing perusahaan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada industri secara keseluruhan.

Dalam industri jasa keuangan perbedaan persepsi dapat terjadi baik karena faktor keterbukaan pihak penyedia jasa keuangan maupun karena faktor pemahaman nasabah. Seperti misalnya apakah penyedia jasa telah menjelaskan produknya dengan jujur, benar dan lengkap pada saat melakukan penawaran. Kemudian apakah tingkat pemahaman nasabah telah cukup memadai pada saat pembelian dilakukan. Penjelasan yang benar dari pelaku usaha dan pemahaman produk yang benar dari nasabah amat dibutuhkan untuk menghindari perbedaan.

Hakikat Asuransi

Pihak Otoritas Jasa Keuangan selaku regulator industri asuransi telah mengeluarkan Peraturan OJK No.23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi. Sesuai peraturan ini produk asuransi adalah program yang menjanjikan perlindungan atas satu jenis atau lebih risiko (Pasal 1 POJK No. 23/POJK.05/2015). Risiko tersebut bisa berupa kerugian, jiwa, kesehatan maupun kecelakaan.

Hal tersebut sejalan dengan UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang antara lain menyatakan bahwa asuransi adalah perjanjian yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi (Pasal 1 UU No. 40 Tahun 2014). Premi itu sendiri adalah imbalan bagi perusahaan asuransi untuk memberikan penggantian kerugian bagi nasabah akibat terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti atau memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung.

Dengan demikian pada hakikatnya makna asuransi adalah memberikan perlindungan bagi nasabah atas risiko tertentu dengan cara mengalihkannya kepada perusahaan asuransi atas dasar imbalan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, imbalan tersebut harus ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai faktor tertentu. Misalnya untuk asuransi jiwa, yang harus dipertimbangkan di antaranya profil risiko, tingkat bunga, tabel mortalita, perkiraan hasil investasi premi dan biaya-biaya. Semakin tinggi risiko yang akan dialihkan, semakin besar imbalan atau premi yang harus dibayarkan.

Jadi asuransi memang bukanlah cara untuk nasabah mencari keuntungan dari suatu peristiwa atau musibah yang menimpanya di kemudian hari. Juga bukan cara untuk perusahaan asuransi menikmati keuntungan dari tidak terjadinya peristiwa atau musibah yang persis seperti yang tertuang dalam polis.

Tingkat Literasi

Menurut survei nasional literasi dan inklusi keuangan OJK di tahun 2019 persentase literasi keuangan responden di bidang perasuransian hanya mencapai 19,4%. Walaupun telah ada peningkatan dari 15,8% di tahun 2016, angka ini masih jauh di bawah sektor perbankan yang telah mencapai 36,12% di tahun 2019.

Kemampuan nasabah untuk memahami produk yang ditawarkan oleh sektor jasa keuangan tentunya amat dipengaruhi oleh tingkat literasi nasabah yang bersangkutan. Rendahnya tingkat literasi perasuransian juga dapat memberikan gambaran umum mengenai seberapa besar kemampuan calon nasabah dalam menentukan atau menganalisis profil risiko yang melekat pada dirinya dan yang akan dialihkannya kepada perusahaan asuransi.

Pada praktiknya nasabah akan menyerahkan data dan informasinya kepada perusahaan asuransi untuk memperoleh penawaran mengenai manfaat yang dijanjikan dan premi yang harus dibayarkan. Sementara proses analisis, korelasi data dengan profil risiko, asumsi yang digunakan dan metode penghitungan premi, semua dilakukan oleh perusahaan asuransi yang memiliki kemampuan dengan sumber daya yang lengkap. Hal-hal yang menjadi kewenangan dan ditetapkan perusahaan asuransi tersebut bukanlah hal mudah untuk dapat dipahami oleh nasabah.

Data nasabah yang sama apabila dianalisis oleh perusahaan asuransi yang berbeda dapat menghasilkan penawaran yang berbeda. Berbagai variasi yang ada tidak memungkinkan nasabah untuk membandingkan secara langsung satu produk asuransi dengan produk lainnya. Oleh karenanya amat penting bagi nasabah untuk memperoleh penjelasan lengkap sebelum memutuskan agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun memiliki harapan melebihi apa yang dijanjikan.

Hal untuk Dipertimbangkan

Ketentuan yang ada memang telah mengatur kewajiban perusahaan asuransi untuk menyampaikan informasi akurat mengenai produknya kepada calon nasabah. Namun perbedaan persepsi yang terjadi menunjukkan masih perlu ditingkatkannya keterbukaan informasi oleh pihak asuransi dan sekaligus kemampuan nasabah dalam memahaminya. Oleh karenanya ada berbagai upaya yang kiranya dapat dipertimbangkan sebagai masukan bagi para pemangku kepentingan industri ini.

Pertama, meningkatkan transparansi. Perusahaan asuransi harus mampu memperkaya materi informasi yang disampaikan para petugas pemasaran mereka kepada nasabah atau calon nasabah pada saat penawaran dilakukan. Bukan hanya penjelasan mengenai pentingnya membeli produk asuransi, tetapi juga bagaimana cara nasabah untuk dapat menilai profil risiko yang dimilikinya. Apabila nasabah mampu mengenali dan menganalisis risikonya, akan lebih mudah baginya untuk memahami produk yang ditawarkan.

Kedua, memastikan kualitas penyampaian informasi. Perusahaan asuransi dapat melakukannya dengan melaksanakan konfirmasi lanjutan kepada nasabah atau calon nasabah untuk menguji pemahaman mereka atas produk yang telah dibeli atau setelah polis ditandatangani. Konfirmasi lanjutan seharusnya bukan hanya untuk tujuan formalitas atau sekadar bertanya apakah benar nasabah telah membeli dan telah memperoleh penjelasan. Konfirmasi ini harus ditujukan untuk menggali seberapa jauh efektivitas dan kualitas pemberian informasi pada saat penjualan.

Dalam hal ternyata diketahui bahwa nasabah tidak mengerti, maka pihak asuransi harus bersedia memberikan penjelasan ulang yang memadai. Proses ini akan membuat pihak asuransi dapat memastikan pemahaman nasabah yang sebenarnya, selain mengandalkan dokumentasi formal berupa adanya persetujuan tertulis nasabah atas polis yang dibeli.

Ketiga, peningkatan literasi melalui edukasi berkelanjutan. Mengingat umumnya perjanjian asuransi memiliki jangka waktu yang panjang, perusahaan asuransi dari waktu ke waktu seharusnya mampu menyegarkan kembali pemahaman nasabah atas produk yang dimilikinya. Hal ini akan membantu untuk memastikan bahwa nasabah masih tetap memiliki pemahaman yang benar dan persepsi yang sama pada saat mengajukan klaimnya.

Pandemi adalah tantangan sekaligus peluang bagi industri asuransi. Masyarakat semakin peduli akan kesehatannya dan menyadari adanya kebutuhan untuk mengalihkan risikonya pada pihak lain. Apabila kendala yang terjadi berhasil diatasi maka kepercayaan masyarakat dapat terjaga dan pertumbuhan yang sehat di industri keuangan secara keseluruhan dapat dipertahankan.

*)Yosea Iskandar, Praktisi Hukum Sektor Jasa Keuangan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait