Tunggu Masukan Masyarakat, RUU Tipikor Ditarik
Utama

Tunggu Masukan Masyarakat, RUU Tipikor Ditarik

Setelah mendapat masukan, RUU Tipikor akan dikirim lagi ke Sekretariat Negara.

Agus Sahbani/Nov/Fat
Bacaan 2 Menit
Belum juga sampai gedung DPR, RUU Tipikor ditarik pemerintah<br>untuk menunggu masukan masyarakat. Foto: Sgp
Belum juga sampai gedung DPR, RUU Tipikor ditarik pemerintah<br>untuk menunggu masukan masyarakat. Foto: Sgp

Pemerintah mulai mengakomodir sejumlah kritik terhadap RUU Tipikor yang dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, pemerintah menarik kembali draf RUU Tipikor yang sudah sampai di tangan Sekretariat Negara. Hal ini diakui Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wahiduddin Adam.

 

“Kita masih diskusikan semuanya dengan mendengar masukan dari publik karena  menurut Pasal 53 UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masyarakat diberi hak memberi masukan,” kata Wahiduddin kepada wartawan di Jakarta, Jumat (1/4).

 

Wahiduddin melanjutkan, revisi RUU Tipikor ini nantinya tetap mengandung semangat memberantas korupsi. Oleh karena itu, ia sangat berharap saran dari masyarakat.

 

Lebih dari itu, revisi RUU Tipikor ini tetap mengadopsi perkembangan dari Konvensi PBB, United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi lewat UU No 7 Tahun 2006. Kemudian, setelah mendapat masukan dan saran dari masyarakat, RUU Tipikor ini akan segera dirampungkan dan diserahkan kembali ke Sekretariat Negara.

 

Terpisah, Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa berharap revisi RUU Tipikor lebih menyokong semangat pemberantasan korupsi. “Kita berharap semua aturan itu dalam revisi UU Tipikor lebih menyokong semangat dari masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujarnya. “Soal materi RUU Tipikor saya tidak bisa komentar karena itu wilayah politik hukum pemerintah dan DPR.”    

 

Harifin menegaskan, sebagai pelaksana, MA hanya menerima kebijakan pemerintah  dan DPR terkait pembahasan revisi undang-undang itu. Terkait rencana penghapusan hukuman mati dalam RUU Tipikor, Harifin mengakui hingga kini memang tidak ada hakim yang memvonis terdakwa kasus korupsi dengan hukuman mati.

 

“Karena ketika hakim menjatuhkan vonis hukuman mati harus dengan pertimbangan yang betul-betul dalam. Bayangkan, kalau mencabut nyawa orang lain kalau salah kan luar biasa. Yang mempertanggungjawabkan di akhirat nanti hakimnya, bukan siapa-siapa,” terangnya.

 

Lain lagi pendapat Jaksa Agung Basrief Arief. Ia berpendapat penghapusan hukuman mati di RUU Tipikor memang sangat dilematis. Sebab, berdasarkan pengalaman saat berupaya mengembalikan aset pelaku kejahatan di luar negeri (khususnya negara-negara Eropa), pertanyaan pertama yang dikemukakan oleh negara tersebut adalah “apakah negara Anda masih menerapkan hukuman mati?” Untuk itu, Basrief berpendapat harus ada solusi matang yang nantinya akan dibicarakan bersama Menteri Hukum dan HAM.

 

Sementara, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Hasril Hertanto mengaku setuju jika aturan hukuman mati dihapus lewat revisi UU Tipikor. Menurutnya, revisi UU Tipikor harus dilihat dalam kerangka UNCAC dan orientasi pengembalian aset. “Selama ini uang hasil korupsi dibawa ke luar negeri yang umumnya menolak hukuman mati. Seperti di Eropa mereka menolak kerja sama kalau pelaku korupsi diancam hukuman mati,” tuturnya.

 

Kewenangan Menuntut

Terkait penuntutan yang dalam RUU Tipikor dikembalikan ke Kejaksaan, Basrief secara pribadi menyatakan sepakat. Karena, sesuai KUHAP, kewenangan penuntutan memang berada di tangan Jaksa.

 

Lebih dari itu, lanjut Basrief, apabila mengacu pada norma-norma yang berlaku secara universal, “penuntutan itu sendiri berada pada Kejaksaan, dimana Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi.

 

Basrief mengatakan, kalaupun penuntutan di KPK nantinya diserahkan kembali kepada Kejaksaan, tentu tidak ada masalah. “Dalam arti kata, memang kami sebagai penuntut umum. Apalagi sekarang satu policy Peradilan Tipikor sudah dimulai. Bahwa Pengadilan Tipikor, baik dari penuntut umum (di Kejaksaan) maupun KPK semuanya bermuara pada Pengadilan Tipikor. Kenapa penuntut umum (juga) tidak satu policy?” tuturnya.

 

Sekedar mengingatkan, ICW mengkritik sejumlah pasal RUU Tipikor yang dianggap memperlemah semangat pemberantasan korupsi. Selain penghapusan hukuman mati dan menghilangkan kewenangan penuntutan KPK, ICW juga mempersoalkan hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal yang dianggap bertolak belakang dengan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

 

 

 

 

Tags: