The Invisible
Tajuk

The Invisible

Seseorang bisa saja hidup dan mengendalikan suatu perusahaan dari suatu negara melalui suatu rangkaian pengambilan keputusan yang rumit dengan menggunakan bigdata, blockchain, dan artificial intelligence.

RED
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Keputusan-keputusan besar bisa sangat berdampak dalam mengubah suatu keluarga, sekumpulan orang yang terorganisir, masyarakat, perusahaan, bangsa, negara, kawasan bahkan dunia. Banyak peristiwa dunia dan nasional yang masih menjadi misteri, mengenai siapa yang sesungguhnya memberi perintah atau memberi pengaruh besar atas perintah tersebut.

Sebut saja, pemboman oleh Jepang di Pearl Harbour, penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, insiden Teluk Babi yang nyaris memicu Perang Dunia ke-3, pembunuhan Presiden AS John F. Kennedy, pembunuhan sejumlah Jenderal dan perwira TNI tahun 1965 dan pembunuhan ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI di kurun waktu yang sama, pengasingan atau pembiaran kemerosotan kesehatan yang mengakibatkan meninggalnya Presiden Sukarno, penyerbuan Timor Timur (Leste), pelengseran Presiden Abdurachman Wahid, pelemahan KPK dan pengusiran tenaga-tenaga handal KPK, penentuan kebijakan penanganan pandemi yang diawal 2020 terkesan sangat meremehkan kegawatan dampak Virus Covid-19.

Banyak lagi peristiwa lain yang mempunyai dampak luar biasa. Belum lagi keputusan yang menyangkut kebijakan ekonomi, penanganan resesi, bail out, dan recovery yang menguras aset negara, dan kebijakan politik yang menghambat proses demokrasi, pemberantasan korupsi, perlindungan HAM dan kebijakan yang mempengaruhi perubahan iklim.

Demikian juga, skandal ekonomi yang terpicu oleh rusaknya governance pada sejumlah perusahaan besar yang menyeret banyak negara dan kawasan ke dalam keterpurukan resesi, yang seringkali ternyata dipicu dan diputuskan oleh segelintir orang dalam board meeting mereka. Belum lagi kalau keputusan diberikan oleh pemegang saham mayoritas dalam perusahaan konglomerasi publik yang dikendalikan keluarga atau sekumpulan kecil kroninya.

Krisis ekonomi Asia 1998 dan krisis global 2007 adalah dua contoh besar yang mengubah peta ekonomi dunia dan sektor swasta. Kalau kita mau tahu lebih dalam lagi, tentu menarik untuk memperhatikan keputusan banyak badan usaha milik negara yang penting, berdampak besar terhadap perekonomian kita, tanpa kita pernah tahu siapa yang sebetul-betulnya mengambil keputusan itu, kepentingan apa yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana akuntabiltasnya kepada publik kalau ternyata keputusan itu mencelakakan kepentingan publik.

Perkembangan saat ini, setelah kita mengalami pandemi, dan resesi berkepanjangan sebagai dampak ikutannya, akan menghasilkan wajah negara, pemerintahan dan dunia usaha dan hubungan antar individu dan kelompok yang sama sekali baru. Secara singkat Bernice Lee dan Ivan Mortimer-Schutts (Digital States Will Emerge, Wired Magazine) menggambarkan kepada kita bahwa revolusi digital akan membuat perbatasan negara menjadi tidak lagi nyata. Kalau ide globalisasi menyebabkan orang, barang dan jasa serta uang melintasi batas negara dengan bebasnya, maka revolusi digital akan menjadikan arus tersebut serba digital, tak terlihat, invisible.

Seseorang bisa saja hidup dan mengendalikan suatu perusahaan dari suatu negara melalui suatu rangkaian pengambilan keputusan yang rumit dengan menggunakan bigdata, blockchain, dan artificial intelligence. Perusahaan menggunakan struktur berlapis dengan konsep perusahaan super holding, holding, dan operasi. Pengendaliannya menggunakan konsep trust, sehingga tidak terlihat lagi siapa pengambil keputusannya. Masing-masing perusahaan dalam struktur organisasi tersebut didirikan dan tunduk pada hukum di negara lain, dan aktivitasnya terpusat atau tersebar di banyak negara yang lain lagi, dan karyawannya hidup dan bekerja juga dari negara yang lain lagi.

Di sini, penghindaran pajak bukan jadi tujuan mereka dengan membuat struktur organisasi dan manajemen yang kompleks, karena otoritas pajak setiap negara saling berkolaborasi, dengan sistem deteksi canggih, sehingga mampu mendeteksi segala bentuk kecurangan pajak yang dilakukan seperti selama ini terjadi. Tujuannya lebih kepada bagaimana bekerja agile, dan menggunakan semua sumber daya yang tersebar di seluruh dunia yang tersatukan dengan teknologi digital untuk mencapai efisiensi maksimal.

Kalau dalam dunia non-digital saja kita masih kesulitan untuk menegakkan hukum dan good governance untuk melacak dan meminta pertanggungjawaban hukum, finansial, moral dan etika dari mereka yang mengambil keputusan-keputusan besar yang berdampak dahsyat terhadap orang banyak, dunia usaha dan negara, maka saya yang awam membayangkan revolusi digital akan menjadikan pekerjaan tersebut menjadi lebih sulit. Atau siapa tahu mungkin justru lebih mudah karena jejak digital tidak bisa dihapus dengan mudah.

Teknologi baru mungkin akan sanggup membangun sistem good governance yang baru berbasis digital, baik untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan, sistem pemerintahan, maupun sektor swasta, yang bisa melacak sampai ke titik akhir, di mana dan siapa yang membuat keputusan tersebut. Bahkan bila di ujung sana kita menjumpai bahwa yang membuat keputusan adalah ternyata adalah robot artificial intelligence yang tidak berwajah.

Di sektor publik, tentu perkembangan ini bisa mengubah konstitusi, sistem politik, bentuk dan fungsi serta tugas lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga, akuntabilitas publik, dan sistem hukum dan peradilan. Belum lagi bagaimana menyiapkan personil yang mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan dan cara kerja dari negara digital.

Di sektor swasta, regulator banyak negara dan praktisi hukum saat ini pun sudah mulai memikirkan mengenai hal ini. Misalnya bagaimana menentukan: (i) pertemuan kehendak para pihak yang menjadi basis dari suatu hubungan kontraktual terjadi, (ii) prinsip, persyaratan dan kondisi apa yang diberlakukan, (iii) di mana hubungan kontraktual terjadi, di mana kontrak dilaksanakan, atau di mana kontrak dinyatakan dilanggar, (iii) apa dan bagaimana membuktikan faktor kesalahan atau pelanggaran yang dianggap terjadi, (iv) pihak mana yang harus mempertanggung-jawabkan adanya suatu kesalahan atau kelalaian, (v) hukum apa yang diberlakukan bila hal tersebut dalam (ii) di atas tidak mudah ditentukan, (vi) apa bentuk aset yang menjadi objek atau jaminan dari kontrak, misalnya aset kripto yang masih belum tahu sekarang ini bagaimana pengaturannya, (vii) bentuk dan proses penyelesaian perselisihan serta lembaga apa yang berwenang menyelesaikannya, (viii) bagaimana proses pelaksanaan keputusan atas perselisihan tersebut dilakukan, dan (ix) sederet pertanyaan lain yang harus segera dijawab dan diberikan dasar hukumnya, apakah itu suatu konvensi, perjanjian multilateral atau bilateral, dan hukum nasional dari suatu negara. Permasalahan yang menyangkut international conflict of laws pasti juga muncul dan harus diberikan jalan keluarnya.

Sementara itu kehidupan lawyers juga berubah drastis. Dalam imajinasi saya, kehidupan rutin harian seorang lawyer di Indonesia, yang mungkin memilih tinggal di salah satu pulau dekat dengan Pelabuhan Bajo, tidak lama lagi mungkin seperti digambarkan di sini:

  • 07.00 - 08.30:virtual video conference call dengan klien dan lawyersnya di New York, partner bisnisnya di Tokyo, dan manajemennya di Johannesburg dan banknya di Shanghai;
  • 08.40 - 09.00: mengambil stik golf, dan sebentar main golf secara virtual di depan monitor 200 inci di lapangan St Andrews dengan teman-teman semasa SMA, atau ikut dalam lomba layar virtual America's Cup dengan Emirate Team New Zealand untuk memacu adrenalin;
  • 09.15 - 10.15: mengajar di STHI Jentera dengan pengajaran daring, untuk 16 mahasiswa pasca sarjana yang tersebar dari Sabang-Merauke dengan teknologi hologram, dan menjawab pertanyaan mereka secara serentak dengan mesin penjawab yang kaya dengan data peraturan, preseden, dokumen kontrak dan putusan pengadilan yang sudah dikurasi dari Hukumonline.com;
  • 10.30 - 12.00: mendampingi klien dalam sidang arbitrase terkait perselisihan perdagangan crypto assets di hadapan panel khusus SIAC di Singapore secara virtual dengan acara keterangan saksi ahli dari MIT dan Tsinghua University;
  • 12.15 - 13.00: makan siang gado-gado ala Cemara dan es alpukat yang dipesan secara daring dan diantar dengan drone langsung ke rooftop rumah container;
  • 13.00 - 15.00: mewakili perusahaan telco nasional memimpin negosiasi dan penyusunan kontrak jual beli satelit komunikasi secara virtual dengan 8 lawyers lain dari seluruh penjuru dunia dengan bantuan teknologi AI dan smart contract;
  • 15.00 - 16.00: menonton konser lama U2, Van Halen atau Aerosmith sambil minum kopi Gayo dan snacking Martabak Bangka;
  • 16.30 - 17.30: hadir dalam rapat sejumlah anggota CSO untuk membahas sejumlah kasus korupsi yang belum tertangani dengan baik oleh penegak hukum;
  • 18.00 - 19.30: bercengkerama dengan keluarga sambil makan malam bersama, kali ini makanan dipesan dari hasil olahan warung Itali dari teman-teman, mantan chef yang dipecat karena efisiensi di sejumlah resto bintang lima;
  • 19.45 - 21.00: rapat virtual dengan Bupati di NTT dan para stafnya untuk membahas rancangan peraturan daerah untuk izin industri energi terbarukan sebagai bagian dari program probono;
  • 21.00 - 22.30: menonton dua episode film klasik The Legend of Condor Heroes atau Boston Legal dengan menggunakan VR, karena pasangan di sebelah juga menonton BTS dengan alat yang sama.

Semua memang dimulai dari mimpi.

Ats - BM, November 2021

Tags: