Tantangan Pendataan Kegiatan Usaha Advokat
Kolom

Tantangan Pendataan Kegiatan Usaha Advokat

Advokat sebagai sebuah profesi seharusnya berperan dalam pergerakan roda ekonomi Indonesia meski sampai dengan saat ini belum terdapat suatu laporan resmi dan komprehensif yang menggambarkan kontribusi tersebut.

Bacaan 5 Menit
Andhika Prayoga. Foto: Istimewa
Andhika Prayoga. Foto: Istimewa

Ide untuk membuat sebuah laporan signifikansi profesi advokat telah disampaikan oleh BPS lebih dari 15 tahun yang lalu. Sebagaimana dikutip dari Hukumonline (4/09/2006), BPS berencana membentuk Direktori Kantor Pengacara Indonesia, dalam rangka mendapatkan data aset, omset, lingkup jasa hingga penghasilan advokat yang tergabung dalam suatu kantor tersebut. Namun sampai dengan saat ini, berdasarkan pantauan pada laman BPS dan laporan berkala terkait sensus ekonomi, tidak juga tersedia data tunggal yang menggambarkan perkembangan bisnis advokat di Indonesia sebagaimana dimaksud BPS.

Harapan sedianya dapat diwujudkan dari hasil Sensus Ekonomi Nasional yang diselenggarakan BPS setiap satu dekade. Sensus Ekonomi Nasional di Indonesia terakhir kali dilaksanakan serentak pada tahun 2016, dan akan dilaksanakan kembali tahun 2026. Pada sensus tahun 2016, tidak dapat diketahui secara pasti kontribusi kegiatan usaha advokat, karena BPS memutuskan mencampurkan dan menyajikan hasil sensus kegiatan aktivitas advokat dengan aktivitas akuntansi dalam satu tabulasi.

Permasalahan tersebut berhulu pada kebijakan BPS yang menggunakan standar data aktivitas usaha advokat dari Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia (KBJI), Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI) yang tidak seragam, terutama dari definisi dan pengelompokan.

Sebelum menguraikan permasalahan tersebut, penting disampaikan bahwa KBJI, KBLI dan KBKI memiliki keterkaitan dalam memastikan keseragaman pendataan suatu bidang usaha. Misalnya diilustrasikan, dalam sebuah kantor advokat, klasifikasi jabatan pengacara dan asisten pengacara merujuk pada KBJI, sedangkan lingkup usaha kantor advokat merujuk pada KBLI, sedangkan layanan-layanan kantor advokat mengacu pada KBKI. Masing-masing klasifikasi tersebut saling terintegrasi dalam suatu sistem statistik dan administrasi, sehingga apa yang terjadi apabila antara masing-masing klasifikasi tersebut ternyata tidak padu satu sama lain?

Advokat dalam KBJI

Dalam kurun dua dekade ini, Indonesia telah dua kali melakukan penyusunan KBJI, yaitu tahun 2002 dan 2014. Pada KBJI 2002 yang disusun merujuk pada Standard Classification of Occupations (ISCO) 1988 yang diterbitkan oleh International Labour Organization (ILO), belum dikenal istilah advokat melainkan pengacara, yang digolongkan sebagai tenaga profesional bersama hakim, jaksa, notaris, dan asisten pengacara.

Dalam menguraikan fungsi, KBJI 2002 menyebutkan pengacara dapat “melaksanakan penuntutan dalam pengadilan” atau “memerintah barrister”. Tentu hal tersebut terasa ganjil karena sejak kapan pengacara Indonesia dapat melakukan penuntutan dan sistem di Indonesia mengenal profesi barrister? Lebih unik lagi, pada uraian cakupan tugas, pengacara di Indonesia dapat bertindak sebagai jaksa atas nama pemerintah dalam kasus-kasus kriminal.

Pada tahun 2008, ILO menerbitkan International Standard Classification of Occupations (ISCO) 2008 yang menggantikan ISCO 1988, yang kemudian diikuti dengan penerbitan KBJI 2014 oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pusat Statistik (BPS). Serupa KBJI 2002, profesi pengacara termasuk dalam subgolongan pokok profesional hukum, sosial dan budaya yang berada dalam golongan 2 (profesional).

Terkait dengan pengertian pengacara, terdapat penyesuaian dalam KBJI 2014 dengan menghapus frasa “memerintah barrister” dalam KBJI 2002, namun tetap mencantumkan fungsi pengacara dalam melakukan penuntutan atas nama Pemerintah”. KBJI juga menambah nomenklatur baru dengan mencantumkan paralegal dan asisten hukum termasuk dalam sub-golongan asisten profesional hukum.

Meski saat itu telah mengesahkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Pemerintah kembali tidak menggunakan istilah advokat dalam KBJI 2014 dan tetap menggunakan istilah pengacara. Menurut UU Advokat istilah-istilah keprofesian seperti “advokat”, “penasihat hukum”, “pengacara praktik” dan “konsultan hukum” sejak UU Advokat berlaku, harus disebut sebagai advokat. Sangat disayangkan pemerintah pada saat itu tidak menyesuaikan pengertian pengacara menjadi advokat, termasuk lingkup fungsinya sesuai dengan UU Advokat.

Selain tidak merujuk pada term dalam UU Advokat, penyusun KBJI 2014 patut diduga tidak teliti dalam memahami bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang berbeda dari regulasi yang menjadi dasar rujukan ILO dalam penyusunan ISCO 2008. Pada Sub-major grup 26 ISCO 2008 yang mengatur klasifikasi legal, social, and culturalprofesionals, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk sub-major group yang salah satunya terdiri dari: legal profesionals, yang dalam klasifikasi minornya terdiri dari: lawyers; judges; and legal profesionals not elsewhere classified. Diketahui bahwa cakupan pengertian dari lawyers dalam ISCO 2008 lebih beragam yang terdiri dari klasifikasi profesi seperti attorney, barrister, lawyer, prosecutor, solicitor, sehingga apabila ditarik dalam konteks ini menjadi tidak tepat apabila diterjemahkan tunggal menjadi pengacara.

Dalam sistem hukum Indonesia saat ini, tidak terdapat makna ganda dari advokat, berbeda dengan pengaturan dalam sistem Anglo Saxon yang mana istilah lawyers dimaknai untuk seluruh profesi yang memiliki keterkaitan dengan hukum, sehingga tidak heran keanggotaan American Bar Association (ABA) juga mencakup hakim, namun apabila istilah bar diterjemahkan ke sistem hukum Indonesia maka menjadi organisasi advokat.

Narasi pengertian lawyers pada ISCO 2008 yang diadopsi KBJI 2014, juga termasuk kewenangan untuk melakukan “prosecutions in courts of justice” yang sebenarnya ditujukan pada fungsi jaksa (prosecutor) sehinggal kembali tidak tepat term tersebut diklasifikasikan sebagai bagian dari tugas pengacara. Kerancuan dalam pengadopsian term ISCO 2008 ke dalam KBJI 2014 menyebabkan ketidaksinkronan definisi terutama berkaitan dengan KBLI, KBKI, dan regulasi eksisting. Sehingga akan terjadinya perbedaan pemaknaan dan penyusunan standar data yang akan digunakan sebagaimana fungsi KBJI yang akan menjadi bahan acuan perencanaan dan kebijakan terutama dalam kegiatan sensus maupun survei dibidang kependudukan, khususnya di bidang ketenagakerjaan dan ekonomi. Bagaimana mungkin advokat memiliki fungsi yang sama dengan jaksa?

Advokat, KBLI dan Sensus

Sensus Ekonomi Indonesia terakhir dilaksanakan pada tahun 2016 (SE2016), yang terdiri dari, tahap pertama pada Mei-Juni 2016 berupa pendaftaran (listing) usaha/perusahaan, termasuk kegiatan usaha rumah tanggal; dan tahap kedua pada Agustus-September 2017, untuk pendataan sampel untuk usaha mikro dan kecil (UMK) dan sensus lengkap untuk usaha menengah dan besar (UMB) (SE2016-Lanjutan). Usaha yang terkait dengan aktivitas pengacara juga menjadi cakupan dalam pelaksaan sensus tersebut, khususnya dalam SE2016-Lanjutan.

Usaha aktivitas pengacara merujuk pada klasifikasi dalam Kategori M dalam KBLI 2015 yaitu Aktivitas Hukum dan Akuntansi (Kode 69). Aktivitas Hukum terdiri dari Pengacara, Konsultan Hukum, Konsultan Kekayaan Intelektual, Notaris dan PPAT, dan Aktivitas Hukum lainnya. Sedangkan Aktivitas Akutansi terdiri dari: Akutansi, Pembukuan, dan Pemeriksa dan Konsultasi Pajak.

Pengelompokan klasifikasi aktivitas pengacara dengan akuntansi menimbulkan problem. Pada saat SE2016-Lanjutan diterbitkan, keberadaan kegiatan usaha pengacara di Indonesia tidak dapat teridentifikasi dengan jelas, karena data aktvitas hukum dan akuntansi dalam satu satu tabel sehingga kita tidak mengetahui data presisi berapa kantor pengacara di Indonesia dan berapa rata-rata penghasilannya.

Padahal apabila hasil sensus tersebut dipisahkan dalam level sub-golongan, maka akan diketahui signifikansi dan peran jasa hukum atau advokat dalam ekonomi di Indonesia. Belum lagi dalam KBLI 2015 dan KBLI 2020, uraian fungsi pengacara masih menimbulkan kerancuan dengan mencantumkan tugas notaris sebagai bagian dari fungsinya, dan tetap tidak merujuk pada term sebagaimana diatur dalam UU Advokat.

Permasalahan dalam KBLI juga bergulir sampai dengan pengaturan dalam KBKI yang detail mengatur detail usaha bisnis pengacara atau aktivitas hukum, di mana KBKI juga mengelompokkan aktivitas hukum dan akuntansi dalam golongan yang sama sebagaimana KBLI. Padahal dari sisi perumusan fungsi pengacara, KBLI 2015, KBLI 2020, dan KBKI, sedikit lebih baik daripada KJBI, misalnya dengan mengatur keberadaan pelaksana badan peradilan telah sepenuhnya diatur terpisah dari aktivitas pengacara, sehingga tidak terdapat pencantuman jaksa sebagai bagian dari aktivitas hukum sebagaimana dalam KJBI, namun dari sisi pengelompokan, tidak cukup beralasan apabila aktivitas pengacara disatukan dengan akuntansi.

Pembenahan Klasifikasi

Validitas antara KJBI, KBLI dan KBKI, dan sinkronisasi dengan UU Advokat dapat menunjang signifikansi hasil sensus ekonomi yang dilakukan oleh BPS. Sinkronisasi data tersebut akan mendukung perkembangan bisnis jasa advokat di masa depan yang selama ini belum terdokumentasi dengan baik.

Pada pelaksaaan Sensus Ekonomi Nasional Tahun 2026, diharapkan Kementerian Ketenagakerjaan dan BPS dapat melakukan revisi terkait kegiatan usaha advokat dalam KJBI, KBLI dan KBKI dengan sebelumnya melakukan koordinasi dengan organisasi advokat, organisasi kekhususan berkaitan dengan advokat misalnya kurator kepailitan, atau pasar modal, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuannya agar dapat tercapai data kegiatan usaha profesi advokat yang lebih komprehensif dan akurat, serta tidak misiterpretasi.

*)Andhika Prayoga adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait