Tantangan Hukum Bank Digital
Kolom

Tantangan Hukum Bank Digital

Terdapat enam tantangan hukum dan regulasi bagi penyelenggaraan bank digital.

Bacaan 4 Menit
Tantangan Hukum Bank Digital
Hukumonline

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan aturan yang menjadi payung hukum bagi perbankan digital. Era bank digital merupakan bagian dari revolusi industri 4.0 dan 5.0, aturan yang baru saja diterbitkan OJK tersebut adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.

Selanjutnya guna melengkapi ketentuan bank digital, OJK berturut-turut juga menerbitkan POJK Nomor 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum serta POJK Nomor 14/POJK.03/2021 sebagai Perubahan POJK Nomor 34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.

Pasal 23 POJK Nomor 12/POJK.03/2021 menguraikan bank digital sebagai bank yang menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik yang dalam menyelenggarakan operasionalnya berbentuk badan hukum Indonesia (baru) maupun hasil transformasi bank badan hukum Indonesia menjadi bank digital. Definisi ini menunjukkan bahwa secara umum fungsi perbankan tidak berbeda daripada yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

Jadi dalam hal ini pemaknaan ‘digital’ merujuk pada cara operasional dari bank, sedangkan fungsi dan kedudukan bank tetap mengacu pada UU Perbankan yang ada. Wimboh (2021), menguraikan bahwa era bank digital merupakan transformasi perubahan operasional bank dari model konvensional menjadi model digital sebagaimana diuraikan dalam tiga POJK yang baru saja diterbitkan oleh OJK.

Pasal 24 POJK Nomor 12/POJK.03/2021 mensyaratkan bahwa transformasi bank digital mencakup pada model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah. Selain itu, dalam POJK tersebut perbankan digital dituntut untuk memiliki kemampuan mengelola model bisnis perbankan yang prudent dan berkesinambungan serta memiliki management resiko yang memadai.

Pengelolaan bank digital juga mensyaratkan adanya tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi sebagai dasar dari kepatutan. Persyaratan lainnya dari penyelenggaraan bank digital adalah menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah serta mampu memberikan upaya yang kontributif terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital dan atau inklusi keuangan.

Tantangan Hukum

Tantangan hukum bagi penyelenggaraan bank digital nampak jelas terlihat dalam pengaturan Pasal 24 POJK Nomor 12/POJK.03/2021. Dalam rumusan Pasal 24 peraturan itu menyebutkan, setidaknya terdapat enam tantangan hukum dan regulasi bagi penyelenggaraan bank digital.

Pertama, adalah model bisnis perbankan yang inovatif dan aman, persoalan ini adalah sejauh mana perbankan digital mampu diselenggarakan dengan meningkatkan pelayanan pada nasabah namun tanpa mengorbankan keamanan transaksi nasabah (baik deposan maupun nasabah pembiayaan), pengertian keamanan transaksi merujuk pada tidak timbulnya kerugian pada nasabah akibat penyelenggaraan perbankan digital. Dalam hal ini POJK yang ada harus diperkuat dengan aturan khusus (lex spesialis) yang mengatur perlindungan konsumen perbankan digital.

Tantangan hukum kedua adalah model bisnis perbankan digital yang prudent dan berkesinambungan. Frasa kata ‘prudent’ dalam perbankan digital diatur dalam Pasal 24 huruf (b) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 merupakan turunan dari Pasal 2 UU Perbankan yang mengatur bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

Meskipun didasari oleh Pasal 2 UU Perbankan, namun Pasal 24 huruf (b) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 dapat dikatakan bersifat lebih khusus (lex spesialis) karena dilakukan pada penyelenggaraan bank digital. Dalam hal ini ketentuan Pasal 24 huruf (b) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 belum lengkap sehingga untuk dapat berlaku mengikat (menjadi norma yang bersifat imperatif) perlu dilengkapi dengan kriteria dan ukuran dari ‘prudent’ pada penyelenggaraan perbankan digital itu sendiri.

Tantangan hukum ketiga adalah sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 24 huruf (c) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 bahwa penyelenggaraan perbankan digital harus memiliki manajemen risiko yang memadai. Pengertian manajemen risiko menunjuk pada proses assessment dan kelayakan transaksi baik terkait transaksi nasabah deposan maupun nasabah pembiayaan.

Fokus manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf (c) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 adalah assessment dan kelayakan transaksi secara digital yang hingga saat ini belum diterbitkan petuntuk pelaksanaan assessment dan kelayakan transaksi secara digital. Miftah (2021), menjelaskan bahwa tujuan dari manajemen risiko yang memadai tersebut adalah agar transaksi perbankan tidak menimbulkan kerugian baik pada nasabah maupun bank itu sendiri sehingga meskipun diselenggarakan secara digital namun fungsi intermediari perbankan tetap dapat terjaga.

Tantangan hukum yang keempat adalah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 24 huruf (d) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 yakni terkait tata kelola dan persyaratan adanya kemampuan teknologi informasi bagi direktur perbankan digital. Artinya dalam hal ini jelas bahwa OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan fit and proper test bagi direksi perbankan perlu menerbitkan aturan khusus mengenai penyelenggaraan dan standar kelulusan bagi fit and proper test calon direktur penyelenggara bank digital. Dalam hal ini tentu tidak dapat dipersamakan standar kelulusan bagi bank konvensional dan bank digital mengingat baik bank konvensional maupun perbankan digital memiliki tata kelola yang berbeda.

Tantangan hukum yang kelima adalah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 24 huruf (e) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 bahwa penyelenggaraan bank digital harus menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah. Keamanan data merupakan tantangan utama industri digital saat ini mengingat hingga saat ini masih banyak penyalahgunaan data nasabah perbankan.

Keamanan dan perlindungan data nasabah merupakan tantangan utama perbankan digital saat ini mengingat akan keamanan dan perlindungan data berkaitan dengan kepercayaan nasabah, sedangkan tingkat kesehatan perbankan dan fungsi intermediari perbankan juga sangat berkaitan dengan kepercayaan nasabah. Dalam hal ini pemerintah perlu mendukung dengan segera mengesahkan rancangan undang undang (RUU) perlindungan data pribadi guna mendukung optimalnya perlindungan dan keamanan data nasabah pada penyelenggaraan bank digital.

Terakhir, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 24 huruf (f) POJK Nomor 12/POJK.03/2021 bahwa penyelenggaraan perbankan digital harus mampu memberikan upaya yang kontributif terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital dan atau inklusi keuangan, berkaitan dengan ketentuan tersebut maka perlu dibuat aturan yang saling mendukung antara penyelenggaraan perbankan digital dengan ekosistem pendukung lainnya misalnya penggunaan uang digital serta integrasi penggunaan bank digital terhadap praktik perdagangan/sektor riil maupu e-commerce sehingga mampu mencapai cashless society maupun cardless society.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait