Tanggung Jawab Organ PT dan Perlindungan Hukum terhadap Kreditur
Kolom

Tanggung Jawab Organ PT dan Perlindungan Hukum terhadap Kreditur

Hukumonline telah memberitakan bahwa PT Mustika Niagatama, salah satu perusahaan yang tergabung dalam Grup Ongko yang telah dinyatakan pailit, dimohonkan pembubarannya oleh kurator dan kreditur-krediturnya (13 Desember 2000). Yang menjadi sorotan utama adalah bahwa menurut laporan kurator, aset likuid yang dimiliki PT Mustika hanya Rp25 juta, sedangkan total utang yang dimiliki Rp2,6 triliun.

Bacaan 2 Menit
Tanggung Jawab Organ PT dan Perlindungan Hukum terhadap Kreditur
Hukumonline

Melihat aset PT Mustika yang begitu minim tersebut, terlihat adanya indikasi bahwa PT Mustika adalah paper company. Jika memang benar bahwa PT Mustika termasuk kategori paper company, lalu sejauh mana tanggung jawab organ PT. Mustika Niagatama, dalam hal pengembalian pinjaman, jika PT Mustika dibubarkan? Bagaimana perlindungan hukum terhadap para kreditur yang utangnya terancam tidak terlunasi?

Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan uraian singkat mengenai tanggung jawab organ Perseroan terbatas (PT), yaitu Direksi, Komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta perlindungan hukum terhadap para kreditur PT Mustika Niagatama yang merupakan paper company.

Paper company

Sebelum membahas mengenai tanggung jawab direktur dalam kasus PT Mustika Niagatama ini, terlebih dahulu akan diulas mengenai apa yang dimaksud dengan paper company.

Paper company adalah suatu perusahaan di atas kertas yang berbentuk PT, serta bertujuan sebagai penarik dana pinjaman bagi perusahaan lain dalam satu kelompok untuk mengelabui rambu-rambu perbankan. Menurut pengamatan penulis, tidak ada definisi paper company yang universal, walaupun istilah paper company sendiri adalah istilah asing.

Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa paper company telah memenuhi persyaratan secara hukum sebagai bentuk PT. Namun di sisi lain, jelas terlihat bahwa motivasi dari pendirian paper company tersebut bukan untuk melakukan kegiatan usaha seperti tujuan PT pada umumnya, melainkan sebagai sarana untuk mendapatkan pinjaman bank atau dengan kata lain untuk menghindari legal lending limit (BMPK).

Melakukan kegiatan usaha

PT  sebagai suatu bentuk badan usaha, mempunyai tujuan utama yaitu menjalankan kegiatan usaha. Selain itu, salah satu kewajiban hukum PT sebagai badan hukum adalah menyelenggarakan pembukuan. Penyelenggaraan kewajiban pembukuan PT merupakan tugas dewan direksi selaku pemegang kuasa dari PT.

Pasal 6 KUHD mengatur kaidah pokok bagi PT yang menyelenggarakan kegiatan usaha untuk mengadakan pembukuan. Begitu pula No. 1 Tahun 1995 tentang Undang Undang Perseroan Terbatas (UUPT) memiliki suatu ketentuan yang menyebutkan bahwa Direksi wajib menyelenggarakan pembukuan PT (Pasal 86 ayat (1b) UUPT).

Pembukuan PT berfungsi untuk mengetahui hak dan kewajiban kepada pihak lain. Di samping itu, pembukuan PT juga berfungsi untuk informasi bagi kepentingan urusan pajak kepada negara. Namun, ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) maupun UUPT mengenai kewajiban pengadaan pembukuan PT tersebut tidak memiliki sanksi, melainkan hanya mempunyai konsekuensi saja.

Artinya, bagi mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha tanpa mengadakan pembukuan akan mengalami kesulitan dalam hak pembuktian jika suatu saat terlibat sebagai pihak yang yang berkara di pengadilan. Tidak adanya sanksi mengenai pembukuan inilah yang menjadikan para pihak yang beritikad buruk, untuk melakukan kegiatan demi kepentingan usaha pribadi maupun golongannya semata. Salah satunya adalah pendirian paper company.

Tanggung jawab organ PT

UUPT mengatur khusus mengenai Direksi, yaitu dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 93. Pasal 85 dengan jelas menyebutkan bahwa setiap anggota Direksi, wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab secara pribadi dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha PT.

Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan aset PT tidak cukup untuk menutup kerugian dan utang PT, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Pasal 90 ayat (2) UUPT). Namun, Pasal 90 ayat (3) memberikan kesempatan bagi setiap anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.

Pada kasus PT Mustika Niagatama ini, sangat sulit untuk membuktikan bahwa hanya pihak Direksi semata yang lalai dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terlihat perkembangan PT Mustika yang dapat digolongkan dalam paper company. Dalam hal ini, pihak Komisaris dan Pemegang Saham pun turut bertanggung jawab atas pailitnya PT Mustika.

Pasal 98 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa atas nama PT, Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada PT.

Mengenai tanggung jawab Pemegang Saham sendiri diatur dalam Pasal 3 ayat (2c) UUPT, yaitu bertanggung jawab secara pribadi jika terlibat dalam  perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT.

Perlindungan hukum terhadap kreditur

Adanya permintaan dari kurator untuk membubarkan PT Mustika Niagatama ini makin menyulitkan posisi para kreditur. Pasalnya, dengan dibubarkannya PT Mustika, maka pengurusan aset pailit dari kurator akan dialihkan ke likuidator.

Hal ini tentunya merugikan posisi kreditur. Pasalnya, ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab dan pengawasan terhadap Direksi berlaku pula bagi likuidator (Pasal 122 UUPT).

Kemandirian likuidator sangat diragukan dalam hal pengawasan dan pengelolaan aset pailit karena likuidator bertanggung jawab terhadap RUPS. Hal ini berbeda dengan kurator yang mempunyai tanggung jawab terhadap kreditur dan di bawah pengawasan Hakim Pengawas Pengadilan Niaga (Pasal 67B UU Kepailitan).

Oleh sebab itu, apabila PT Mustika memang dibubarkan, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah mengajukan gugatan secara perdata terhadap organ PT Mustika, yaitu Direksi, Komisaris dan RUPS dengan dasar hukum perbuatan melawan hukum yaitu mendirikan paper company.

Upaya hukum yang lain adalah mengajukan gugatan secara pidana terhadap organ PT Mustika secara pidana, dengan dasar hukum perbuatan curang (bedrog) atau perbuatan merugikan pemihutang (schuldeischer) atau orang yang mempunyai hak (rechthebbende).

Alternatif hukum lain, jika PT. Mustika terbukti mempunyai personal guarantee, yaitu penjamin yang memberikan jaminan untuk pinjaman kepada PT Mustika, maka para kreditur dapat mengajukan gugatan pailit terhadap personal guarantee.

Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan solusi hukum untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia dan memberikan  pelajaran terhadap debitur-debitur yang nakal agar bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan segera membayar utang-utangnya. 

 

M.Y.P. Ardianingtyas, SH, LL.M adalah alumnus Fakultas Hukum UI (angkatan 94) dan Faculty of Law Vrije Universiteit Amsterdam. Penulis sekarang menjadi asisten Dosen di FH UI untuk mata kuliah Hukum Kepailitan, PKPU dan Akoord

Tags: