Soroti UU Kepailitan dan PKPU, Ketum AAI Ranto Simanjuntak Dikukuhkan sebagai Doktor Ilmu Hukum di UPH
Terbaru

Soroti UU Kepailitan dan PKPU, Ketum AAI Ranto Simanjuntak Dikukuhkan sebagai Doktor Ilmu Hukum di UPH

UU Kepailitan dan PKPU belum menjadi landasan hukum yang ideal bagi terwujudnya keadilan bermartabat.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
Dr. Ranto Simanjuntak, S.H., M.H. menjadi Doktor Ilmu Hukum ke-151 di Universitas Pelita Harapan.  Foto: istimewa.
Dr. Ranto Simanjuntak, S.H., M.H. menjadi Doktor Ilmu Hukum ke-151 di Universitas Pelita Harapan. Foto: istimewa.

Sebagai organ penting dan strategis proses kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), kurator diberikan tugas dan wewenang mengurus serta membereskan harta debitur pailit. Hal ini sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU); di mana dalam menjalankan tugasnya, kurator tunduk pada sejumlah rambu-rambu, seperti menjaga independensi, tidak memiliki benturan kepentingan, dan tidak melakukan kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

 

Kendati ada ancaman pidana bagi pelanggaran yang dilakukan kurator, UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur secara tegas ketentuan-ketentuan pidana berkaitan dengan kepailitan dan PKPU, seperti kriteria tindak pidana dan sanksinya. Di sisi lain, regulasi yang mengatur ketentuan pidana terkait kepailitan dan PKPU, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Menurut Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (DPP AAI), Dr. Ranto Simanjuntak, keterlibatan hukum pidana dalam perkara kepailitan ini menepatkan hukum kepailitan seolah-olah tidak otonom dan bermartabat, sebagaimana disampaikan dalam disertasinya yang berjudul Pemidanaan terhadap Kurator dalam Perkara Kepailitan dan PKPU Ditinjau dari Aspek Keadilan Bermartabat pada Ujian Terbuka Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Sabtu (28/10).

 

Melalui disertasi tersebut, ia juga menyoroti potensi kriminalisasi terhadap kurator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Berikut dua novelti yang ia sampaikan. Pertama, tidak adanya imunitas terhadap kurator dalam menjalankan proses PKPU dan kepailitan karena ada kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan implementasi teori hukum bermartabat dalam setiap proses hukum, sehingga dapat terwujud trio tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan).

 

Kedua, penerapan teori hukum bermartabat dalam sistem hukum secara menyeluruh. Selain memuat trio tujuan hukum, teori yang diciptakan oleh Promotor, Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M. Si. ini juga bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila. Teori hukum bermartabat dianggap penting, karena menggunakan pendekatan filsafat dan holistik, sehingga dapat berinteraksi dengan sistem hukum lain.

 

“Apabila terjadi konflik dalam suatu sistem hukum, dapat diselesaikan dengan sistem hukum itu sendiri. Dengan demikian, suatu sistem hukum bermartabat juga menghasilkan penegakan hukum bermartabat. Suatu sistem hukum dianggap bermartabat, jika dapat menyelesaikan konflik yang ada di dalamnya sendiri, tanpa perlu campur tangan hukum lain,” kata Ranto.

 

Penguatan Regulasi Kepailitan dan PKPU

A person and person in a room with flowers

Description automatically generated

Ketua Umum AAI, Dr. Ranto Simanjuntak saat menyampaikan ikhtisar disertasinya dalam Ujian Terbuka Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Sabtu (28/10). Foto: istimewa.

 

Ranto melanjutkan, penguatan regulasi kepailitan dan PKPU dapat dicapai dengan sejumlah cara. Pertama, revisi atau pembaruan komprehensif atas UU Kepailitan dan PKPU agar benar-benar menjadi instrumen hukum yang efektif menyelesaikan utang-piutang secara adil dan seimbang. Kedua, memberikan perlindungan hukum kepada kurator agar dapat melakukan tugas profesinya dengan rasa aman dan bertanggung jawab, baik secara perdata maupun pidana (bila melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan harta pailit). Terkait tindak pidana kepailitan, harus diatur secara rinci (klasifikasi secara jelas tindak pidana materiel dan formil), sehingga tidak multitafsir dan menempatkan kurator pada posisi yang rentan dikriminalisasi.

Tags:

Berita Terkait