Simak! Begini Prosedur Poligami yang Sah
Terbaru

Simak! Begini Prosedur Poligami yang Sah

Perlu diingat, poligami tanpa izin dari istri pertama dapat menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Lazimnya, perkawinan yang terjadi akan membentuk sebuah keluarga yang melibatkan satu orang pria dan satu orang wanita. Namun dalam banyak kasus, beberapa pria yang sudah berstatus menjadi suami dan kepala keluarga memilih untuk menikah lagi dengan berbagai alasan. Praktik semacam ini disebut dengan poligami.

Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu istri.

Di Indonesia sendiri menganut asas monogami atau satu pria hanya berpasangan dengan satu wanita. Merujuk pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, hukum perkawinan Indonesia berasaskan monogami.

Selanjutnya asas itu ditegaskan kembali dalam Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya UU Perkawinan yang berbunyi pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogami). (Baca: Alami Kerugian Saat Di-Ghosting Pasangan? Dua Langkah Hukum Ini Bisa Ditempuh)

Kendati demikian, UU Perkawinan memberikan pengecualian, yang mana Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami), dengan beberapa ketentuan sesuai dengan Sesuai Pasal 5 UU Perkawinan.

Pertama, suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan syarat: ada persetujuan dari istri/istri-istri. Persetujuan dari istri ini tidak diperlukan jika istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian; tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan (Pasal 5 ayat (2)).

Kedua, adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak; dan ketiga, adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak.

Secara teknis, tata cara permohonan izin poligami melalui Pengadilan diatur dalam Pasal 40-44 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Apabila Pengadilan berpendapat cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang atau ditolak jika tidak cukup alasan. Di luar itu, tidak ada aturan hukum atau sanksi yang tegas jika seorang suami berpoligami tanpa persetujuan istri/istri-istrinya.

Pengadilan hanya memberikan izin poligami dengan beberapa alasan yakni jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun izin tersebut diberikan pengadilan jika berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristri lebih dari seorang.

Poligami dalam Hukum Islam

Lebih lanjut, aturan poligami merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara garis besar, memang tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan. Namun, dalam KHI terdapat pengaturan lain seperti suami hanya boleh beristri terbatas sampai 4 istri pada waktu bersamaan.

Syarat utama agar bisa beristri lebih dari satu yakni harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya. Jika tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Kemudian suami harus memperoleh persetujuan istri dan adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak. Persetujuan ini dapat diberikan secara tertulis atau lisan, dan kemudian dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.Poligami harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Jika nekat dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.

Jika istri tidak mau memberikan persetujuan, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama. Atas penetapan ini, istri/suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

Dalam kasus istri pertama tidak menyetujui suami untuk menikah lagi, maka ia tidak dapat melakukan poligami, mengingat persetujuan istri merupakan syarat yang wajib dipenuhi jika suami hendak beristri lebih dari 1 orang.

Dalam hal suami tetap mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Agama, nantinya Pengadilan Agama akan memeriksa dan mendengar keterangan dari istri pertama sebelum memberikan izin.

Sebagai informasi tambahan, mengenai syarat mampu berlaku adil, pada dasarnya Al Qur’an dalam QS. An Nisa’ ayat 129 yang merupakan salah satu sumber hukum Islam telah menegaskan bahwa suami tidak akan dapat berlaku adil, sebagai berikut:

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…”

Terhadap ketentuan ini, Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir (hal. 88) menjelaskan bahwa penggunaan huruf nafy dalam ayat tersebut mengandung makna tidak akan sama sekali sampai kapan pun.

Senada, Rahmi dalam Poligami: Penafsiran Surat An Nisa’ Ayat 3 menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang membolehkan poligami jika suami mampu mewujudkan keadilan di antara para istri, yaitu keadilan material. Namun, keadilan material di antara istri merupakan syarat yang sangat sulit dilakukan karena lahirnya tindakan manusia tidak terlepas dari kondisi hati/perasaannya. Padahal, pada saat yang bersamaan, hati/perasaannya memiliki kecenderungan untuk tidak adil (hal. 124).

Problematika Pasca Poligami

Namun perlu diingat bahwa sejumlah masalah bisa timbul akibat poligami tanpa izin seperti keabsahan perkawinan, gugatan pembatalan perkawinan, perceraian, pembagian harta gono gini, hak waris jika suaminya meninggal, bahkan bisa berujung pidana.

Hal tersebut bisa dilhat kembali peristiwa awal 2007 lalu di Jambi. Saat itu, seorang wanita bernama Prapmi yang sedang hamil empat bulan menuntut suaminya bernama Riduwan di Pengadilan Negeri Jambi. Kasus ini sendiri menjadi sorotan dan perhatian khusus Komnas Perempuan kala itu yang sekaligus mendampingi Prapmi selaku korban.

Lalu, pada awal Maret 2007, Riduwan alias Iwan (31) yang melakukan poligami tanpa izin istri pertamanya akhirnya hanya divonis hukuman 10 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jambi. Vonis 10 bulan yang dijatuhkan majelis hakim yang dipimpin Buana, sama dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) Meilinda dalam sidang sebelumnya.

Riduwan terbukti bersalah melakukan penipuan atau memalsuan buku akta nikah untuk menikah lagi tanpa persetujuan istri pertamanya yang melanggar Pasal 278 KUHP. Sementara itu, Ny. Prapmi (istri pertama terdakwa) didampingi Komnas Perempuan perwakilan Jambi, Endang Kuswardani, setelah vonis tersebut, menyatakan menerima putusan hakim tersebut.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Veni Siregar berpendapat poligami, apalagi dilakukan tanpa izin merupakan salah satu penyebab perceraian. Ia bahkan menyebut poligami tanpa izin merupakan perbuatan zina.  "Itu zina dengan dalih nikah siri, selain itu ada KDRT, jadinya mereka memilih untuk bercerai," ujar Veni kepada Hukumonline.

Menurut Veni, hukum di Indonesia yang berkaitan dengan hak perempuan masih cukup lemah, sehingga pihak perempuan kerap menjadi korban. Termasuk salah satunya, kata Veni, berkaitan dengan praktik poligami, apalagi tanpa izin dari istri/istri-istri. Salah satu efek negatif dari perceraian akibat poligami yaitu mengenai terganggunya kehidupan anak. Meski pengadilan sering memenangkan pihak istri dalam hal hak asuh anak dan membebankan kepada suami atau mantan suami nafkah bagi anak-anaknya.

"Dalam praktiknya putusan pengadilan tidak bisa dieksekusi, misalnya suami abai memberi nafkah, paling masuknya faktor ekonomi," terangnya.

Tags:

Berita Terkait