Siegfried Bross:
Belasan Tahun Jadi Hakim Cuma Sekali Muncul di Media
Profil

Siegfried Bross:
Belasan Tahun Jadi Hakim Cuma Sekali Muncul di Media

Untuk memperbaiki citra MK di hadapan masyarakat, lembaga MK sebaiknya menjalin hubungan yang erat dengan media massa. Namun, Ketua MK dan Hakim Konstitusi harus lebih berhati-hati berbicara ke publik.

Ali/Hot-HOLE
Bacaan 2 Menit
 Mantan Hakim Konstitusi Federal Jerman Siegfried Bross. Foto: SGP
Mantan Hakim Konstitusi Federal Jerman Siegfried Bross. Foto: SGP

Mahkamah Konstitusi Federal Jerman kerap dijadikan tolak ukur bagi negara-negara lain yang ingin mendirikan lembaga serupa. Salah satunya adalah Indonesia. Meski bukan ‘acuan’ tunggal, negara ini merupakan salah satu rujukan yang digunakan ketika Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi. Tak berhenti disitu, dalam perkembangannya, para hakim MK di Indonesia pun kerap bertukar pikiran dengan hakim konstitusi Jerman.

 

Siegfried Bross, adalah mantan Hakim Konstitusi Federal Jerman yang kerap bolak-balik ke Bumi Nusantara ini. Pemegang gelar Honoris Causa dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini kerap memaparkan constitutional reform atau constitutionalism dalam setiap ceramahnya. Kali ini, Bross kembali hadir ke Indonesia atas undangan The Habibie Center dan Hans Seidel Foundation.

 

Hukumonline berkesempatan menggali pandangan Bross mengenai perkembangan constitutionalism dan beberapa isu hukum tata negara terkini yang terjadi di MK. Bagaimana pandangannya mengenai isu judicial corruption yang menerpa MK saat ini? Apa solusinya agar kepercayaan masyarakat terhadap MK tetap terjaga? Tak hanya itu, Bross juga ingin memberikan contoh kepada hakim MK, dan hakim-hakim di Indonesia pada umumnya, agar tak terlalu banyak berbicara kepada publik.

 

Wawancara dilakukan pada Kamis (10/11), usai seminar peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) The Habibie Center ke-12. Dalam wawancara ini, Bross menggunakan bahasa Jerman dalam setiap jawabannya, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Justino Djogo-Dja (Ketua Umum Kemitraan Indonesia Jerman) dan Ulrich Klingshirm (Resident Representative Hanns Seidel Foundation). Berikut petikan wawancaranya:  

 

Bagaimana pendapat anda mengenai constitutional reform yang terjadi di Indonesia saat ini?

Sejauh pandangan saya, selama ini sudah banyak yang berubah. Dan perubahan itu menuju ke arah yang positif.

 

Salah satu hasil constitutional reform di Indonesia adalah kehadiran MK. Saat ini, MK sedang diterpa masalah mengenai isu judicial corruption terkait kasus surat palsu. Apa pandangan Anda?

Orang harus melihat perkembangan ini berdasarkan perjalanan waktu. Orang tak bisa membuat kesimpulan langsung sehari jadi. Masyarakat juga harus berusaha bersama-sama mengembangkan MK.

 

Apakah isu judicial corruption pernah juga menerpa MK Federal Jerman?

Dalam 15 sampai 20 tahun ini tingkat korupsi sangat berkembang di Jerman. Menurut saya, perjuangan melawan korupsi itu tak berhubungan dengan berapa banyak masa hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor tetapi juga berpulang kepada kesadaran masyarakat dan etika hakim sendiri.

 

Bagaimana dengan korupsi di lembaga peradilan (seperti MK dan lain-lain)?

Saya mesti koreksi, di Jerman, korupsi tak ada di lembaga-lembaga hukum, tetapi ada di lembaga publik lainnya. Di lembaga hukum tidak ada (korupsi,-red). Korupsi terjadi di lembaga negara ada, lembaga swasta ada, dan di bidang-bidang yang baru diswastanisasi oleh pemerintah juga ada korupsi.

 

Jadi saya ingin tekankan, untuk melawan korupsi bukan dengan banyaknya hukuman berapa tahun kepada koruptor, tetapi lebih banyak kepada perubahan kesadaran kepada masyarakat bahwa segala sesuatu tak selalu diukur berdasarkan uang.

 

Kasus surat palsu di MK membuat public trust terhadap lembaga ini mulai menurun. Apa solusi yang bisa Anda sampaikan untuk MK?

Untuk memperbaiki citra agar lebih baik terhadap MK, baik di Indonesia maupun di Jerman, peranan media massa sangat perlu. Mereka harus membantu dengan menyajikan berita atau artikel-artikel yang bagus dan berdampak positif ke MK. Tujuannya agar image atau citra MK dapat membaik.

 

Selain itu, para politisi atau mereka yang memegang kekuasaan di pemerintahan juga harus memberikan pandangan yang baik tentang MK.

 

Contohnya, di Jerman, MK Federal sering mengalami ketegangan dengan institusi pemerintah yang lain. Ini memang kurang bagus untuk image. Lalu, MK Jerman mencoba menjalin hubungan kerja yang baik dengan media massa atau pers. Ini adalah salah satu solusi yang efektif untuk memperbaiki image.

 

Namun, di Indonesia, Ketua MK Mahfud MD justru dinilai terlalu banyak berbicara. Yakni, sering mengomentari isu-isu yang sebenarnya di luar kewenangan MK. Apa komentar Anda mengenai hal ini?

Saya memberikan gambaran bahwa memang lebih mudah memberikan komentar kepada teman atau kolega kita. Saya telah menjabat selama 12 tahun sebagai hakim konstitusi di Jerman, dan biasanya kami –para hakim- sangat berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Dalam karier saya sebagai hakim selama 12 tahun, saya hanya sekali muncul di Koran.

 

Posisi MK seharusnya netral. Memang tak bisa dipungkiri di MK ada sisi politiknya sendiri. Namun, pada umumnya, hakim MK tak boleh terlalu vokal.

 

Apakah ada kaitannya karena latar belakang Mahfud –dan hakim lain yang vokal- berasal dari partai politik. Apa perlu dibatasi bahwa hakim konstitusi tak boleh berlatar belakang partai politik?

Sebagai perbandingan, di Jerman, hakim konstitusi setengahnya berasal dari parlemen, sedangkan sisanya berasal dari perwakilan negara-negara bagian. Itu tidak ada masalah. Tetapi memang beberapa hakim lebih vokal, dan beberapa lainnya lebih sering diam.

 

Bagaimana pendapat Anda dengan wacana memperkuat MK dengan memberikan kewenangan constitutional complaint?

Pada umumnya, saya setuju dengan kewenangan constitutional complaint ini. Kewenangan constitutional complaint merupakan kewenangan setiap MK yang ada di dunia.

 

Constitutional Complaint atau pengaduan konstitusional adalah pengaduan warga negara ke Mahkamah Konstitusi karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945). Jadi, yang bisa diuji ke MK bukan hanya undang-undang, melainkan seluruh produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah, termasuk juga putusan pengadilan bila memang terbukti melanggar UUD 1945. Di banyak negara, kewenangan ini merupakan kewenangan pokok Mahkamah Konstitusi. Namun, di Indonesia, MK tak mempunyai kewenangan ini.

Sumber: www.hukumpedia.com

 

Bila kewenangan constitutional complaint dibuka, ada kekhawatiran sembilan hakim MK tak akan sanggup menangani perkara karena diprediksi banyaknya perkara pengaduan yang diajukan ke MK?

Ini tergantung dengan bagaimana hakim membuat klasifikasi ketika menerima pengaduan konstitusional ini. Pertama, harus dispesifikasi terlebih dahulu untuk awal beberapa bagian saja dalam konstitusi yang menjadi tolak ukur, misalnya Hak Asasi Manusia (HAM). Hanya untuk itu dulu.

 

Selain itu, hakim juga harus bisa memilih atau memfilter perkara constitutional complaint untuk ditangani. Sejak proses pendaftaran harus sudah diseleksi. Perkara-perkara yang memang memenuhi syarat saja yang bisa ditangani. Contohnya di Jerman, hanya 2,8 persen dari total permohonan yang masuk yang diperiksa oleh MK.

 

Ini memang harus diatur. Saran saya, seharusnya dibentuk kamar-kamar kecil yang diisi oleh para hakim konstitusi untuk menyeleksi, bahwa hanya permohonan-permohonan yang sangat signifikan saja yang bisa ditangani oleh MK. Kalau MK menangani semua kasus constitutional complaint yang masuk, itu akan membuat susah MK.

Tags: