Serangan Balik Pemerintah dalam Pengujian UU Kepailitan (2)
Berita

Serangan Balik Pemerintah dalam Pengujian UU Kepailitan (2)

Selain mengenai status badan hukum YLKAI, motif para pemohon yang menunjuk kuasa hukum yang sama, juga dipertanyakan pemerintah

Mys/CR
Bacaan 2 Menit
Serangan Balik Pemerintah dalam Pengujian UU Kepailitan (2)
Hukumonline

Untuk menguatkan argumentasi di hadapan pleno hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada persidangan pekan lalu (9/3), pemerintah melacak latar belakang permohonan pailit yang diajukan oleh Aryunia Chandra Purnama dan Suharyanti. Dari hasil pelacakan, pemerintah berkesimpulan bahwa kedua pemohon bukan merupakan konsumen asuransi.

 

Dalam permohonannya, Aryunia dan Suharyanti berargumen bahwa hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Permohonan pailit yang diajukan Aryunia terhadap PT Prudential Life Assurance telah ditolak panitera PN Niaga Jakarta Pusat; sementara permohonan Suharyanti ditolak PN Semarang. Penolakan itulah yang dinilai merugikan hak konstitusional pemohon.

 

Tetapi pemerintah tampaknya tidak lantas percaya pada klaim Aryunia dan Suharyanti. Sebagaimana diungkap pemerintah dalam persidangan, permohonan pailit yang diajukan kedua pemohon bukan murni klaim asuransi mereka. Melainkan berdasarkan tagihan yang dibeli melalui Perjanjian Pengalihan Hak Tagih (cessie) dari Yuhelson.

 

Nama yang disebut terakhir tidak lain adalah mantan kurator PT Prudential Life Assurance (Prudential), ketika perusahaan itu dinyatakan pailit oleh PN Niaga Jakarta Pusat. Pemerintah mempertanyakan keabsahan tagihan itu. Legalitas dari tagihan yang dijual dan dialihkan oleh kurator tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Celakanya, yang membeli hak tagih dari Yuhelson bukan hanya Aryunia dan Suharyanti, juga tiga pembeli lain Leo Budi S Ginting, Tito Andi Wibowo dan Rudi Alfonso.

 

Menurut pendapat pemerintah, Yuhelson sebenarnya belum berhak untuk menagih biaya kepailitan itu kepada Prudential Life Assurance karena belum mendapat pengesahan dari hakim pengawas. Sehingga tidak memenuhi pasal 15 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998.

 

Untuk memperkuat pendapatnya, Pemerintah menyodorkan bukti berupa putusan PN Jakarta Pusat dalam perkara Leo Budi S Ginting melawan Prudential Life Assurance. Dalam putusan perkara No. 35/Pailit/2004 itu, majelis hakim menolak permohonan pailit itu antara lain karena tagihan kurator Yuhelson belum mendapat penetapan hakim pengawas. Permohonan pailit yang diajukan Tito Andi Wibowo (No. 40/Pailit/2004) terhadap Prudential juga bernasib sama.

 

Pemerintah menaruh perhatian tentang kuasa hukum setiap permohonan itu. Selain diwakili kuasa hukum yang sama dengan kuasa hukum yang juga mewakili YLKAI, beberapa anggota dari kuasa hukum yang mengajukan judicial review juga merupakan kuasa hukum dari Suharyanti saat menggugat Prudential di PN Semarang. Juga merupakan kuasa hukum dari Tito Andi Wibowo saat menggugat Prudential ke PN Jakarta Pusat.

 

Ketika permohonan Tito dan Leo Budi ditolak PN Jakarta Pusat, tegas pemerintah, seharusnya tim kuasa hukum yang sama tersebut sudah mengetahui atau patut mengetahui bahwa upaya mereka lewat PN Semarang akan bernasib sama. Sebab, substansi permohonannya sama.

 

Berdasarkan berkas awal permohonan judicial review ke MK, pengacara yang mendapat kuasa dari dan mewakili Suharyanti adalah Lucas, Swandy Halim, Marselina Simatupang, Tisye Erlina Yunus, Tommi S Siregar, Finda Mayang Sari, Nur Asiah, Sony R Wicaksana, Lili Badrawati dan Renty H Gultom. Nama pengacara yang sama merupakan kuasa hukum Aryunia Chandra Purnama dan YLKAI.

 

Dimintai tanggapannya, Lucas menyatakan tidak ada pernyataan pemerintah yang mempersoalkan masalah diatas. Kata dia, yang menjadi persoalan adalah orang kecil yang tidak mendapat akses keadilan di pengadilan niaga. Namun, lanjut Lucas, pemerintah berusaha mendalilkan bahwa menteri keuangan yang berwenang mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi.

 

"Kalau menteri keuangan tidak mau lakukan juga tidak ada sanksinya. Tidak ada aturannya. Ini yang menjadi esensinya," ujarnya kepada hukumonline (15/3). 

Tags: