RUU Pengadilan HAM belum Mengakomodasi Statuta Roma
Berita

RUU Pengadilan HAM belum Mengakomodasi Statuta Roma

Jakarta, Hukumonline. Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM) belum mengakomodasi Status Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional dan konvensi internasional lainnya. Apa implikasinya?

Leo/APr
Bacaan 2 Menit
RUU Pengadilan HAM belum Mengakomodasi Statuta Roma
Hukumonline

Ifdhal Kasim, Direktur Eksekutif ELSAM, melihat banyak hal yang harus diperbaiki dalam RUU Peradilan HAM yang sedang dibahas di DPR saat ini. RUU Peradilan HAM harus menselaraskan dengan berbagai ketentuan dalam Konvensi-Konvensi HAM yang ada, di antaranya ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) yang akan diratifikasi oleh Indonesia.

"Namun sayangnya banyak anggota Dewan (DPR) yang sedang membahas RUU Peradilan HAM tidak menguasai substansi berbagai konvensi tersebut," cetus Ifdhal dalam acara peluncuran buku "Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional" (International Criminal Court).

Menurut Ifdhal, banyak hal yang harus disesuaikan dengan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional serta berbagai konvensi-konvensi HAM lainnya, antara lain pengertian kejahatan itu sendiri. "Banyak kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional belum dikenal dalam KUHP kita," ujarnya.

Sulit dibuktikan

Ifdhal berpendapat, rumusan-rumusan yang dibuat di RUU Peradilan HAM sangat luas, sehingga menyulitkan jaksa dalam membuktikan. Pasalnya, terlalu banyak elemen yang harus dibuktikan oleh jaksa.

Dalam RUU Peradilan HAM diatur tentang pelanggaran berat HAM, di antaranya unsur pembunuhan dan perkosaan. Namun karena rumusan kejahatan pelanggaran HAM dibuat sedemikian luas, sehingga akan sulit bagi jaksa untuk membuktikannya. Misalnya, pembunuhan itu apakah nantinya bisa dikategorikan pelanggaran berat HAM.

Untuk membuktikan pelanggaran, lebih dahulu harus memenuhi unsur-unsur delik kejahatan berat HAM, yaitu korban harus dibuktikan menderita secara fiisik dan non-fisik. Hal ini mengharuskan si jaksa untuk membuktikan si korban menderita secara fiisik dan nonfisik. Sementara dalam Statuta Roma, hal ini diatur lebih tegas. Pasalnya, Statuta Roma tidak membuat rumusan secara kualitatif seperti RUU. "Parameternya jelas," tegas Ifdhal.

Hal kedua yang harus diadopsi adalah adanya standar hak minimal yang harus didapatkan tersangka. Misalnya dalam sistem interogasi yang sekarang digunakan oleh pihak kepolisian haruslah disesuaikan dengan Konvensi Penentangan Penyiksaan. Hal ketiga, yaitu masalah perlindungan saksi dalam peradilan HAM.

Hal keempat yang harus diperhatikan adalah penerapan asas nebis in idem (asas dalam hukum pidana dimana orang yang melakukan suatu kejahatan tidak boleh diadili kedua kalinya atas perbuatan yang sama).

Jika seseorang telah diadili oleh Peradilan HAM, ia tidak boleh diadili kembali oleh Peradilan Pidana. "Hal ini harus secara jelas diatur dalam RUU Peradilan HAM, kalau tidak nanti akan terjadi salah interpretasi di mana Peradilan Pidana merasa perlu dan mempunyai otoritas untuk mengadilinya", kata Ifdhal.

Konsekuensi

Jelas ada konsekuensi jika Indonesia ikut meratifikasi Statuta Roma. Yang pertama, Indonesia menjadi bagian langsung mekanisme penegakan hukum atas kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jika peradilan kita tidak mampu menangani, dengan sifatnya yang komplementer, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang berlaku.

Selain itu, Indonesia harus menselaraskan dan menserasikan hukum pidana yang ada di Indonesia. "Saat ini hukum pidana kita tidak mengakomodir kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma, misalnya masalah Genocide," ujar Ifdhal. Ia juga melihat, KUHP Indonesia belum mengenal apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan dan sebagainya.

Ifdhal berpendapat, langkah praktis yang harus ditempuh untuk memperbaiki sistem hukum nasional adalah dengan ratifikasi. "Kita mempunyai kewajiban untuk mengharmonisasikan konvensi-konvensi tersebut dengan hukum nasional," ujarnya.

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Penentangan Penyiksaan yang mengharuskan perbaikan sistem interogasi dan sedang membuat undang-undang kompensasi penyiksaan dan undang-undang perlindungan saksi.

Menurut Ifdhal, ratifikasi akan bersifat lebih sistematik dan pengaruhnya akan lebih cepat dibandingkan dengan merombak hukum pidana kita. "Lihat saja rencana perubahan KUHP yang sampai saat ini belum selesai." katanya.

Keterbatasan dana

Harry P. Haryono, Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI, menyatakan bahwa dengan meratifikasi konvensi-konvensi internasional, Indonesia akan menghadapi berbagai kesulitan.

Masalah yang paling utama adalah keterbatasan dana. Maklum sebagai negara peserta, Indonesia harus membayar iuran. "Saat ini saja kita hanya mampu membayar 30% dari keanggotaan kita di berbagai organisasi internasional, sedangkan sisanya kita menunggak, dengan konsekuensi kita tidak mempunyai hak suara," ujar Harry.

Sementara untuk ICC (International Criminal Court) ini biayanya tentu akan lebih mahal dibandingkan keanggotaan di ICJ (International Court of Justice) karena ICC lebih kompleks dari ICJ.

Memang, Sekjen PBB Koffi Annan, menganjurkan negara-negara anggota PBB mengesahkan 25 konvensi internasional dalam Millenium Summit yang akan segera diadakan di Majelis Umum PBB, di antaranya adalah 13 konvensi HAM termasuk ICCPR dan ICESCR dan Statuta Roma ini," kata Harry.

Indonesia mempunyai kesempatan untuk menandatangani Statuta Roma sampai 31 Desember 2000. "Perlu diingat, penandatanganan berbeda dengan ratikasi. Penandatanganan hanya memberikan kita kewajiban moral untuk meratifikasi yang berarti kita terikat. Jika ingin menjadi negara peserta yang baik, kita harus melaksanakan seluruh konsekuensinya. Masalah ini harus dibahas tidak cukup hanya Deplu saja." lanjut Harry.

Selain masalah dana, Harry berpendapat, banyak hakim yang tidak mengerti berbagai ketentuan hukum dan konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. "Untuk itu, kita memerlukan berbagai bantuan, di antaranya pihak media untuk menyebarkan berbagai konvensi yang telah menjadi hukum nasional,".

Mumpung masih ada waktu, DPR bisa mengakomodasi Statuta Roma dalam RUU Peradilan HAM. Sambil menyiapkan RUU, hakim juga disiapkan menyambut UU Peradilan HAM. Seperti kata pepatah "sedia payung sebelum turun hujan", dari pada ketinggalan zaman.

Tags: