Ramai Aksi Saling Dukung Kontestan Pemilu, Begini Imbauan 3 Kubu Peradi
Utama

Ramai Aksi Saling Dukung Kontestan Pemilu, Begini Imbauan 3 Kubu Peradi

Profesi advokat itu officium nobile dan tidak partisan.

Normand Edwin Elnizar/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Ia juga mewanti-wanti agar organisasi advokat tidak ikut-ikutan dalam agenda saling dukung kontestan pemilu manapun. “Organisasi advokat harus independen, khususnya Peradi,” kata Juniver.

 

(Baca juga: Ini Anggota DPR 2014-2019 yang Berlatar Belakang Hukum)

 

Dalam konteks itu pula, Juniver meminta untuk tidak membawa status sebagai advokat. Termasuk ketika memutuskan bergabung menjadi tim sukses kontestan pemilu. “Terpanggil menjadi tim sukses sebagai pribadi, bukan sebagai advokat. Membawa profesinya tidak boleh, harus dibedakan,” ia menambahkan.

 

Dalam kontestasi politik seperti sekarang, pernyataan ke ruang publik, terutama di media sosial, acapkali menuai polemik. Para advokat sebaiknya menjaga marwah advokat dalam berkomunikasi di media sosial terkait pemilu. Fauzie berpandangan bahwa seorang advokat harus menjaga etika menyampaikan pilihan politiknya, misalnya tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyakiti advokat lain atau anggota masyarakat. Justru, warga negara –yang berlatar belakang advokat—seharusnya menjadikan latar bekakang advokat itu untuk menumbuhkan kesadaran hukum bagi masyarakat, khususnya pemilih. “Menyampaikan kritik boleh, tanpa menyakiti orang lain,” ujarnya.

 

Mengenai advokat yang mengemukakan pandangan politik di muka umum, Luhut menghimbau untuk berhati-hati. “Dengan dia memperlihatkan partisan, artinya menyulitkan dirinya sebagai advokat dan merugikan profesi advokat keseluruhan,” Luhut menambahkan.

 

Luhut justru mengimbau agar kalangan advokat tidak mengumbar aspirasi politiknya kepada publik. Apalagi jika sampai membawa nama profesi advokat. Hal ini agar tidak mengesankan profesi advokat berpihak pada kelompok politik tertentu. Meskipun tiap individu advokat memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya dalam aspirasi politik, menjaga hakikat profesi advokat yang tidak partisan menjadi jauh lebih penting. “Hakikat dari profesi itu tidak partisan,” tegasnya.

 

Larangan diskriminatif

Preferensi politik juga tak boleh membuat seorang advokat memberikan perlakuan diskriminatif kepada kliennya. Larangan diskriminatif karena alasan politik itu tegas disebutkan dalam Pasal 18 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 18 ayat (1) UU Advokay menyebutkan “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarag membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

 

Kode Etik Advokat pun tampak memberikan rambu-rambu yang sama. Tentu partisipasi aktif advokat dalam berbagai dinamika saling dukung kontestan pemilu di muka umum bisa menjadi persoalan dalam menjalankan ketentuan tersebut. Pasal 3 Kode Etik Advokat Indonesia menyebutkan “Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya”.

Tags:

Berita Terkait